Jumat, 25 April 2014

Menanti Senyap

Nafasmu memburu turun dari langit Dan lalu kata-katamu yang penjelma dahaga Berubah menjadi api Menghanguskan udara yang kusesap Hitam – Pekat

Kau tak lagi bisa berontak Menyembur api pada waktu Sebab mereka adalah abadi Keheningan sebentar lagi menjemput Aku terisak Malam semakin hitam Angin kesedihan lantas pekat

Puisi karya @didochacha - http://mruhulessin.wordpress.com

Empat Elemen Kesedihan

Mula-mula aku membakar daun-daun yang jatuh di kepala, supaya ada satu cahaya tiba dari kobar paling ingatan. Kau, seseorang, yang pernah lupa karena ingkar janji atas api, yang meredam sendiri bara atas masa lalunya. Setiap ada percik selepas pantik, di kepalaku telah hangus anak-anak rambut.

Dan kau, bisa jadi asin air yang jatuh sebagai hujan, membasahi bukit pipiku setelah selesai pembakaran. Aku sedang mengambil caping, akan kupanen garam dari kumpulan airmataku sendiri; hujan di musim kesedihan yang telah kau ciptakan. Aku jadi petani sukses dari banjir kehilangan.

Kemudian aku akan memulangkan tubuhku yang dipendam garam ini kepada tanah. Kukembalikan seluruh kesedihanku kepada apa yang dahulu telah diambilkan untuk satu hidupku. Tanah atas nama rahim ibuku. Tidak da yang perlu menggali karena api dan hujan telah menggemburkannya.

Maka takkan kudapati udara. Takkan kumiliki lagi napas, dan sesak dadaku paripurna. Helaanmu akan mencatat semuanya dengan huruf-huruf yang telah diajari untuk kebal pada sakit hati. Sementara aku telah sembuh dan takkan lagi mencampuri paru-parumu dengan bau masa lalu.

~ teras atas, 20 april 2014

Puisi karya @dzdiazz - http://aksaralain.blogspot.com

Kepada Bara

Kepada bara Kurebahkan jiwa Di sepanjang rona pelangi beraroma jingga Sembari bersenandung hingga menggelora Hingga terlepas rupa-rupa, saujana

Kepada bara Kutitipkan samsara Biar habis terbakar sedih segala macamnya Mengabu, larung, menuju sedia kala

Kepada bara Kutautkan nestapa atas buncah rindu terlampau kentara Biar perlahan senyapnya Menghanguskan esa bejana, sukma

Kepada bara Kutuang sepercik airmata Ke dalam tungku-tungku penuh nyala Mengobar, membakar, selayak panas Candradimuka Maksudku, sederhana Biar letih hati tiada lagi mendera Biar seruang tumbuh, sekadar mengizinkan bernapas lega

Kupikir cuma kepada bara Kan kutuang samsara Biar habis terbakar sedih segala macamnya Mengabu, larung, menuju sedia kala

-kaki Merapi, 20 April 2014, jelang tengah malam-

Puisi karya @phijatuasri - http://lariksyair.blogdetik.com

Sebutir Biji

Aku sebutir biji yang tertanam dalam tanah yang hangat Bagai pelukan ibu yang terasa begitu erat

Air mengalir membasahi kulitku membuatku terbangun Dari rasa nyaman, hangat, dan nikmatnya pelukan

AAA….Aku ingin melihat matahari Sang Pembawa Kehidupan di Bumi Muncul ke permukaan dan merasakan nikmatnya udara menerpa diri

Tapi kini, semua tak bisa kurasakan lagi Karna tubuh ini tlah hangus terbakar api

Mengapa aku harus berakhir begini? Baru senang memulai hari, ku malah tak berbentuk lagi

Panas api dari tangan manusia Telah membuatku mati sia-sia

Baru sekejap kumulai hari Kini takkan pernah kurasakan lagi

Manusia tlah membakarku dengan api Padahal tak pernah sekalipun aku merasa iri

Kisahku sebutir biji yang harus mati Karna api oleh manusia-manusia yang keji

Yogyakarta, 20 April 2014

Puisi karya @MayHpt06 - http://mynameismaylia.wordpress.com

Inginku Menuntut Ilmu

Tanah tempat kakiku berpijak Dengan kedua kakiku terjejak Kuharap bertemu sesuatu nan bijak

Aku ingin bisa mengalir seperti air Yang selalu mengalir dari hulu ke hilir Tanpa sedikitpun ada rasa kikir

Namun kadang langkah kaki gontai Semilir angin, sejuknya udara menggodaku tuk santai Menikmati, mendengar deburan ombak di pantai nan damai

Tapi api masih ada dalam semangatku Kan kubawa selalu menemaniku menuntut ilmu Mengisi semua akal pikirku, hingga tiba waktu terakhirku

Itulah inginku dalam menuntut ilmu Membawa keempat elemen ke setiap relung jiwaku Dan kan kugenggam erat tanpa sedikitpun rasa ragu

Yogyakarta, 20 April 2014

Puisi Karya @MayHpt06 - http://mynameismaylia.wordpress.com

Kisah dari Langit

Kurasai dalam puisimu. Menjunjung langit. Kisah langit berbeban rindu-rindu para penyair. Mereka terlalu banyak menulis kisah-kisah jenuh. Hingga langit terasa berat seolah hendak jatuh.

Maka dijatuhkannya air. Merupa hujan. Tempias basah menyentuh kaca jendela seorang kenya. Dia menghembuskan nafas berkabut menyamarkan nama kekasihnya ditulis gelisah. Disampaikannya puisi cinta.

Maka dijatuhkannya api. Merupa kilat-kilat. Bukan amarah dewa Zeus. Sang kenya berbicara tentang cemburu. Pada bunga-bunga indah di taman lain yang disambangi oleh kekasih. Langit pun menjauh dari rengkuh puisi.

Maka dijatuhkannya udara. Menghidu. Merupa wangi-wangi kekal rindu. Maka dihirupnya pelan. Diembus tak cekat. Kekasih sudah di dekatnya.

Maka dijatuhkannya tanah. Merupa abu. Dibawa oleh kabar-kabar burung dari negeri selatan. Membisikkan kerisik di sela jemari kaki. Menjejakkan nama rupa-rupa ragu. Ditanamlah sudah segala puisi ketabahan.

Inilah kisah langit itu. Hilir dongeng-dongeng sekadar penyair. Tinggal pada tingkap. Berguru pada doa-doa. Mereka teramat tabah.

Puisi karya @_bianglala - http://pelangiaksara.wordpress.com

Sajak Cerita Cinta

Pada tanah yang basah Tak sengaja kutarikan rindu bersama tetes hujan Tersebab sebuah rasa yang tak tersampaikan Tentang kamu, membayang di celah ingatan

Pada rindu yang desah Tanyaku enggan terjawab perjalanan waktu Tak apa, barangkali rel ketakmungkinan memang baku Tepiskan mimpi, membuih di udara nun jauh

Pada hati yang resah Tabah rasa mungkin pernah menyusut seketika Tak ubahnya ego tersulut api amarah Tebal, diam-diam enggan percaya cerita cinta

Puisi karya @Susi_SmileKitty - http://luphly-shie.blogspot.com

Aku adalah Udara Tanpa Arah

Kemana udara-udara yang bernapaskan rindu itu akan berlabuh?

Masihkah ia tanpa arah?

Dan kamu tetap terdiam di titik gelapmu.

Di atas tanah yang mengunci langkahmu.

Dengan rantai-rantai kuat yang menancap di tanah gersang itu, seperti hatimu.

Mata air yang pernah jadi tempatmu menangis,

Kini kering kerontang.

Tak ada lagi yang ingin bermuara di ujungnya.

Tak ada lagi yang ingin menitipkan rasa pada daun yang jatuh di atasnya.

Yang ada hanya debu dari abu sepimu,

Terbakar lewat api sisa-sisa amarahmu.

Merah menyala, menghapus biru dari bola matamu.

dan benci membawanya pergi.

Memang tak ada lagi rindu di duniamu.

Dan aku adalah udara yang tanpa arah.

Puisi karya @dyazafryan -http://dyazafryan.wordpress.com

Cinta Sekekal Api

Aku lupa berpijak pada bumi

Saat kau tiupkan udara

Pada cinta yang kubiarkan beterbangan

Aku menari disana

Dengan sayap terindah

Yang kau rajut dengan sebuah kepercayaan

Menangkap butiran-butiran air embun

Yang berjatuhan menyambut pagi

Saat mentari mulai menyala

Aku akan membuatmu percaya

Pada cinta yang sekekal api

Puisi karya @GistiiRa - http:// gradistie.wordpress.com

Selasa, 22 April 2014

Berkali-kali

Siapa yang membawa mata ke tubuh berjauh-jauh. Ada dua atau lebih wajah berlapis pandang kesedihan. Kau tahu akupun tak tahu. Kesedihan itu turut ke mataku dan oleh sebabnya satu demi satu ada yang tiba-tiba saja berjatuhan seperti serpih kayu. Pedih.

Dan garis-garis yang tembus di permukaan merayu sepi untuk tegas seperti garis wajahmu.

Siapa yang menyaji gambar bila kesedihan-kesedihan itu tak berkesudahan. Wajahmu sekali lagi menipu dan kehilangan sudah memburu.

Sekali lagi.

Aku mengharapkanmu tak hanya mata yang memandang berkali-kali, atau kesedihan itu takkan berhenti sama sekali.

Puisi karya @dzdiazz - http://aksaralain.blogspot.com

Matra

Dua wajah terbaca dalam segores karya Ini cuma tentang bingkai dua matra yang kadang memicu perdebatan kita Seperti juga terjadi sesiangan tadi Kala kita berkeliaran di dunia maya, menjajaki galeri

Satu bingkai karya dua matra Sekejap menghentikan jemari berpesta STOP! Selancar dunia maya pun mandheg seketika

“Hebatnya Francis Picabia …. Seorang pria, separuh rupa Tirus wajah seperti menahan kelu tubuhnya, mungkin juga pedih yang bersandar, putus asa”

Lugas kalimatmu berjejalan menyesaki udara ruang on line pameran Seolah menimpali kerumunan tanya sarat memenuhi otakku di tiap lipatannya Sayang, tak cukup waktu bibir bersuara

“Satu lagi, menurut pandanganku adalah seraut wajah seorang nona Bibir dan pendar matanya memesona Ya, mata lelakiku mudah mengenalinya”

Kedua bola mataku membalas, mengejap beberapa jeda mengerling penuh tanya,

“Kau sedang membaca pikiran mereka?”

Tanpa sadar mulutku bicara

Aku hanya heran, tiap kali berurusan dengan dua matra Bagaimana bisa kau selalu punya cara menebak apa isi pikiran, meski cuma gambar karya Membikinku hendak mendebat dan bicara sekadar menumbangkan pendapat

Sayangnya, lagi-lagi ku tak mampu Bingkai karya dua matra, dua wajah itu seolah terlalu lekat membiusmu

“Sorot mata si perempuan …. Menyimpan harap terlampau besar Mungkin karena ia cukup yakin bakal jadi istri terakhir”

Lagi, kedua mataku membelalak seketika

“Istri? Siapa?”

“Dia!”

Telunjukmu menekan monitor begitu kuatnya Tampak wajah si lelaki, berbayang jejak sidik jari Ah, kau ini! Sudah macam detektif ahli Atau mungkin kau memang Sherlock Holmes wanna be

Entahlah Bingkai dua matra selalu seru jadi tema Berdebat kita, hari ini atau seterusnya Tentang dua wajah mereka Tentang surrealis, abstrak, atau apa saja

Entahlah Mungkin ini tak cuma soal matra Ini juga tentang jiwa, tentang bagaimana cara kita memandang ke arah mana seharusnya tentang bagaimana mengindera segala rupa objek dua matra lalu berpendirian, berdebat menurut logika

-kaki Merapi, 17 April 2014, jelang malam

Puisi karya @phijatuasri - http:lariksyair.blogdetik.com

Dalam Mata

1/Katamu, dalam mataku Kau temukan tempat berlabuh segala ragu Supaya genaplah rapal-rapal doa yang kau senandungkan tiap malam

2/Semenjak kutinggalkan kau di pelabuhan itu Telah kulukis dirimu : luka dan senyummu seutuhnya Lalu kutanam di dalam mataku segera

3/Memandang laut adalah ziarah panjang bagi kita Disana mata kita saling bertemu Mencipta pijar pada sajak yang kau sebut penebus dahaga

4/Jarak membuat kita sesekali berbincang tentang kerinduan yang goyah Lalu ingatan yang perlahan-lahan mulai terhapus Namun gerimis selalu saja turun dipelupuk mata kita pada akhir percakapan Memintal kembali resah jadi percaya bulat penuh Selalu

-17 April 2014-

Puisi karya @didochacha - http//mruhulessin.wordpress.com

Gadis Manisku

Kau, gadis manisku bermata sayu Yang selalu muncul dalam setiap mimpiku Dan kan selalu jadi impian termanisku Oh…gadis manisku bermata sayu

Tak kau rasakankah tatapku tajam Tatapan lurus yang kutujukan hanya padamu Jangan kau kira aku berlaku kejam Hanya pikirku penuh oleh dirimu

Tak pernahkah kau terpikir Apa yang kurasakan padamu Kau datang menengok sekadar mampir Tanpa pernah kau mau mencari tahu

Kau gadis manisku bermata sayu Selalu menjadi impian termanisku Datang, mendekatlah dalam pelukku Oh, gadis manisku bermata sayu

Pikirku selalu, kita berdua kan menyatu Dalam ikatan nan syahdu Hubungan berasa semanis madu Meski kadang ada rasa mengharu biru

Kau gadis manisku bermata sayu Lemah gemulai indah perangaimu Inginku jadikan kau utuh milikku Oh….gadis manisku bermata sayu

Yogyakarta, 17 April 2014

Puisi karya @MayHpt06 - http://mynameismaylia.wordpress.com

Mata

barangkali nanti engkau–adam–yang kulihat

pertama hari dimulai terhitung pagi

barangkali nanti aku–hawa– yang kaupandang

pertama melek dari ranjang-ranjang mimpi terhitung malam

Maka marilah kita saling lekat

mendenguskan nafas-nafas cekat

aku dan kamu membuang mata

melumat tubuh dari tinggal di ingatan.

“Tunggu!” pada kata-kata serempak, sebelum usai birahi.

“ada mata tuhanmu di kepalamu. Diam dan membatu.”

Satu tingal itu menetap, menatap tajam.

Dia memulai membacai batu, seperti mengucap tulah.

mengumbar cemar. menangkap gelisah.

mengurung dosa. lalu menutup vonis tanpa ampun.

dan mereka telanjang pendosa yang terkutuk.

Dia mata ketiga — yang tak terlihat untuk melihat yang tak terlihat.

Puisi karya @_bianglala - http://pelangiaksara.wordpress.com

Akulah Sang Mata

Akulah sang mata Menjaga tiap-tiap rahasia Entah satu, dua, insan manusia Baik tentang Adam maupun Hawa

Akulah sang mata Menatap tajam pada dunia Baik buruknya, ada tidaknya Sebab segala yang ada, terasa fana

Akulah sang mata Terlahir dengan dua jiwa Sekali waktu, enggan berkaca Seolah rasa meneriaki seribu logika

Akulah sang mata Terpenjara dalam lukisan tua Sedang di kepala, ingatan meraja Berontak dalam gejolak yang tak nyata

Duhai Adam dan Hawa Jangan tatap aku dengan sepasang mata Sebab aku telah menatapmu begitu lama Sebab akulah sang mata, terjebak satu cerita

Puisi karya @Susi_SmileKitty - http://luphly-shie.blogspot.com

Mata-mata

Mata-mata menyorot tajam,

seperti tak asing, menatap lekat tak berpaling.

Bibir itu berisi pisau tajam.

Meski terlihat sangat muram, ia mampu membuatmu terhujam.

Siapa yang menciptanya?

Goresan kasar, lekuk-lekuk garis hitam.

Ada makna, ada cerita.

Wajah yang menyimpan luka,

dendam,

dan kesendirian.

Ia ingin hidup sebagai pengingat,

namun yang terjadi ia hanya akan jadi wanita dibalik kanvas yang hangat.

Tak ada airmata,

tak ada banyak bahagia.

Ia akan tetap hidup bersama goresan tangan yang lainnya.

Puisi karya @dyazafryan - http://dyazafryan.wordpress.com

Seperti yang Kita Pinta

Seperti senja yang menebar harumnya waktu Seperti bias-bias dari deburan ombak yang menerjang Maka seperti ini rasa dibalik rasa yang dipersatukan Tuhan.

Aku selalu bimbang, Saat kata terhenti dan waktu tetap memutarkan rodanya Saat harap menghentikanku diujung pantai ini.

Pelukan rinduku belum terbalas olehmu, senja. Dia masih tergantung, melayangkan hati seperti benda mati. Sedangkan rasaku masih di sini mengharap sebuah kecemasan.

Lihat aku, Di bibir pantai, aku selalu mengadu rasaku.

Medan, 17 April 2014

Puisi karya @WE_Dewie - http://wedewie.blogspot.com

Rabu, 16 April 2014

Larut Bersama Tanya

Aku selalu suka, ketika kita berempat : kau, aku dan sepasang cangkir kopi di meja itu —saling bertukar tanya.

Aku iri pada serbuk kopi — ujarmu mengawali.

Ia ikhlas dilebur panas yang menjadikannya pekat sempurna bila kita adalah serbuk kopi pun ujian serupa air mendidih apa kelak kita setabah mereka?

Sepasang cangkir kopi di meja itu, menjawab lewat hening.

Aku mulai mengkaji doa-doaku — lanjutmu lagi.

aku egois, hanya meminta bahagia sementara sabar seperti vitamin tak dihasilkan tubuh barangkali jalan yang kita pikir tak berujung adalah cintaNya, tuk memenuhi pundi-pundi tabah agar kita tak kehabisan bekal.

Mungkin pula seperti kopi di cangkir ini — jawabku.

Ketika manisnya kita kurangi bukan perihal sakit gula yang menakuti melainkan, kita ingin mengecap makna dari murninya sebuah pahit.

Lalu, kau menuang minumanmu ke tatakan kopi, separuhnya sementara aku memilih meniup permukaan air minumanku, menunggu sampai hangat-hangat kuku.

Lihatlah, cara kita menyesap kopi, bagimu, caramu bagiku, caraku lantas mengapa kita saling menjatuhkan hanya sebab seseorang memilih jalan lebih panjang?

Sepasang cangkir kopi berdenting, berebut ingin menjawab namun, kita terlalu larut — dalam pertanyaan.

Palembang, 13 April 2014. 22:36.

Puisi karya @madeehana - http://pasiringatan.wordpress.com

Tercatat Malam Ini

dalam lampu yang telah kupadamkan, tanpa kantuk menyetubuhi malam, maka tak ada lagi kolam selain diriku sendiri yang bisa kurenangi. tak ada lain, selain bertekur menghadap langit yang langit-langit; semuanya diam, kecuali kepalaku dan beberapa penyesalan.

mengapa melulu gelap benar-benar kehilangan ucap? saat lampu suar yang tak membacakan apa-apa menampar pipiku lebih dulu daripada langkah yang jauh akan sudah. aku sampai di sini, adakah yang memiliki arti?

tapi kelahiran telah tercatat, sebagaimana akhirnya aku ada.

dari mata yang tak mampu menangkap apa-apa selain gelap di kamar ini, seribu lebih makna coba kupanen. tuhan yang maha, bagi-mu aku ada. maka pada malam ini dosa-dosa yang menjelma ular telah kumakamkan.

Puisi karya @dzdiazz - http://aksaralain.blogspot.com

Sabda Abadi

Dia menginginkan Dia bersabda

Maka Dia menunggang keledai Daun-daun diangkat semarak. Putri Sion bersorak Lantang dinyanyikan segala puji

Yerusalem, lihatlah Rajamu.

Hari ini seperti pernah dinubuat Langit hingga bumi lebih tahu kabar duka Menyimpan lumat

Bumi Golgota menjadi altar tertinggi Menantang langit.

Dia yang tergantung Adalah sabda abadi

Puisi karya @_bianglala - http://pelangiaksara.wordpress.com

Telanjang

Seperti tubuh pada mulanya
Semestinya kata-kata yang kita ucap telanjang
Tak perlu lagi berhias romansa dan kepahitan
Cukup telanjang saja
Maka mimpi dan ingin juga akan menjelma telanjang sempurna
Pada malam tanah menyetubuhi langit
Supaya jangan terjadi lagi saling menelanjangi
Dalam perenungan tentang sepi yang tak kunjung tandas

*masohi, 13 APRIL 2014*

Puisi karya @didochacha - http://mruhulessin.wordpress.com

Doa

Pejamkan matamu, dan rasakan napasmu.

langkah-langkah dalam hatimu terdengar,

namun nadanya terasa tak sama.

Ia mungkin lelah atau sedang tertatih,

memapah serbuan sengat kejamnya dunia.

Pejamkan matamu, dan rasakan napasmu.

bersandarlah sejenak, tak perlu memaksakan.

rebahkan tubuhmu pada nyaman dekapan-Nya.

Rapalkan doa-doa penuh cinta,

rasakan hatimu memohon dengan airmata.

Buka matamu, dan embuskan napasmu.

Langkahkan hatimu yang telah kuat.

hidup tetap harus berlanjut setelah kau beristirahat atas kelelahanmu.

Puisi karya @dyazafryan - http://dyazafryan.wordpress.com

Dua Kita

Sedikit hening berlabuh tetiba di antara duduk dua kita Tak beriak sedikitpun air muka, tiada teriak seperti biasa Dua kita pernah saling cinta Tapi, rasanya tertinggal sisa segelintir asa Mungkinkah dua kita menyerah pada hening tercipta?

Sedikit hening berlabuh tetiba di antara duduk dua kita Seolah hadirnya memberi jeda tentang rasa, tentang beda, tentang padu padan dua jiwa Lalu sebaris tanya sekonyong mengudara, “Untuk apa kita mau bersama, jika nyatanya beda?”

Apa dua kita tak patut bersama hanya karena jarak, status sosial, profesi: beda (?) lalu menyerah pada hening membatasi suara

Adalah dua kita sebisa-bisa duduk bicara tentang rasa, tentang beda, tentang padu padan dua jiwa Sedari mula, dua kita memang beda Tapi, bukan untuk dicari di mana salahnya

Katakan dan akui jika kita pernah salah Lalu biarkan dua hati meremah Mengikhlaskan, menjadikannya begitu mudah

Katakan dan akui jika kita pernah tak mesra Lalu biar erat genggam jemari, dua kita memperbaiki Biar mudah dua kita berjalan melaluinya, padang ilalang penuh liku luka

Sedikit hening ini membiarkan dua kita duduk berpikir tentang beda tak kunjung akhir tapi, bukan untuk menyerah pada takdir Sedari mula, dua kita memang beda Tapi, bukan untuk dicari di mana salahnya

-kaki Merapi, 13 April 2014, di pagi sunyi-

Puisi karya @phijatuasri - http://lariksyair.blogdetik.com

Kidung Pagi

Kemarilah, kasih... Menyatu bersama kanvas putih

Semesta takkan biarkanmu sendiri dalam sepi Bukankah bersama lebih baik walau kadang hatimu begitu kalut tanpa henti

Kemarilah, kasih... Menyatu bersama kanvas putih

Air matamu tak boleh jatuh melewati pipi Sebab ia terlalu berharga bagi seseorang yang tak pantas kautangisi

Kemarilah, kasih... Menyatu bersama kanvas putih

Semesta pasti akan selalu mengerti apa yang terjadi Bukalah hatimu untuk melihat lebih dalam lagi, yang dahulu telah berakhir kini

Kemarilah, kasih... Menyatu bersama kanvas putih

Air matamu hanyalah penghias dari sebuah kata pergi Sebab itu, lihatlah aku di sini, melengkungkan senyum serupa pelangi

Kemarilah, kasih... Menyatu bersama kanvas putih

Semesta hidupmu akan kudekap bak pengisi hati Bukankah lebih baik begini, tersenyum menyambut kasih putih pada pagi

Puisi karya @Susi_SmileKitty - http://luphly-shie.blogspot.com

Temukan Sayapmu

Temukan sayapmu,

Saat kakimu mulai letih melangkah

Mencari sebuah pengharapan

Temukan sayapmu,

Ketika hatimu terlalu riuh

Tentang tujuan yang keruh

Temukan sayapmu,

Dibarisan jajaran awan

Saat bumi tak pernah memihakmu

Temukan sayapmu,

Saat tangis mengusap lembut pipimu

Dan jemari tak mampu menghapusnya

Temukan sayapmu,

Meski punggungmu terlalu rapuh

Berdiri pun tak pernah tegap

Temukan sayapmu,

Bukan untuk pulang Pada-nya

Namun untuk meraih Takdirnya

Sayapmu itu,

Hanyalah rentangan tanganmu

Saat berdoa Padanya, Tuhan

Puisi karya @GistiiRa - http://gradistie.wordpress.com

Selasa, 08 April 2014

Bayi

Biarkan aku merawat, seperti pengasuh yang dibayar untuk mengganti popok anak-anakmu.

Atau memandikannya, padahal tanganmu masih sanggup mengangkat gayung dan membalur tubuh lembut berbau surga. Kau juga bisa menatap matanya -- sama waktu pertama kali kau jatuh cinta. Ada begitu banyak rahasia dan kau memilikinya.

Yang akan kubedaki, meski wangi masih lekat sebasah apapun keringat. Ia takkan berbicara apa-apa, selain tangis yang ia pelajari dari ibunya; ketika bersedih karena disakiti laki-laki, atau kecewa angan-angannya lebih tinggi dari langit lalu jatuh terhempas.

Itulah tubuh yang akan kurawat. Sebab di dalamnya telah kutanam berbagai macam mimpi.

~ teras atas, 06 april 2014

Puisi karya @dzdiazz - http://aksaralain.blogspot.com

Amore Andrea

Aku mencoba percaya pada utara

Masih dengan perasaan yang sama

Oleh rindu-rindu beterbangan keselatan

Rasa masih saja terasa sama

Entah kamu pun merasakannya atau tidak

Aku mencoba percaya padamu, kembali

Narasi yang dulu sempat rapuh

Diujung bibir kita bercumbu

Rindu, perlahan rapuh dalam pelukan

Entah kamu mempercayainya atau tidak

Aku tetap memaksamu percaya, hei Amore – Te quiero

Puisi karya @GistiiRA - http://gradistie.wordpress.com

Kerajaan Pasir

Kata-kata menggantung di langit-langit mulutmu

Enggan jatuh meski perih membuat kau gemetar

Riang terkadang hanya singgah, tak cukup memeluk

Atau tinggal namun berontak, tak cukup menepis kalut

Jika hati diciptakan dari kaca,

Apa sanggup kau betulkan hanya dengan melupakan?

Abadikan riuh di hatimu, Puan

Niat baik yang gaduh jangan diredam

Pastikan aku sebagai istana tempat kau berkeluh tak mati berdebu

Aku ingin doa-doa tetap memberkatimu dari teman yang bertamu

Setia menjadi angan dan tempat kau pulang untuk melukis kenang

Ingatlah ini, Puan, tanamkan di benakmu sekuat kau merawat ketulusan

Ruang-ruang di sini akan mengingatmu lebih baik dari jejak yang mampu dihapus ombak

Palembang, 6 April 2014

Puisi karya @madeehana - http://pasiringatan.wordpress.com

Rinduku PadaMu

Rindu begitu liar bertumbuh
Ibarat asin laut yang kian pekat, mengurungku sesak
Nyanyian yang dulu sering kudengar perlahan sayup lalu kian senyap
Dan aku seketika itu hampa
Ujung jariku tak lagi merasakan manisnya udara
Kesementaraan sungguh sia-sia tanpaMu
Untuk itu tolong ajarkan apa yang harus kueja dalam doaku nanti malam

Pelita kian redup diserbu derita
Angin semakin sembilu rasanya. Lantas tak sanggup lagi berlari sendiri seperti
Dahulu yang sering aku lakukan.
Aku telah gugur dibawah kakiMu sejatinya namun
Menyangkal lebih dari tiga kali
Untuk itu tolong ajarkan apa yang harus kueja dalam doaku nanti malam

-Soahuku, 6/4/2013-

Puisi karya @didochacha - http://mruhelessin.wordpress.com

Di Sana

Teduh suara gerimis di sini. Meski teletiknya riuh mengingatkan waktu. Berhitung-hitung tentang kepergian sebentar ragu.

Entah. Hendak ke mana rindu kali ini melayari waktu demi waktu.

Rentangan musim labuh terlampau jauh dari penghujung. Sesekali singgah untuk meratap dengar kertak-kertak yang gagu.

Aku perlahan melepas rengkuh, “Tak apa.”

Sebuah pagi akan kembali. Burung-burung tetap sumringah mematuk biji-biji cahaya di mata langit-langit yang suwung.

Aku bisa apa? Bila aku sudah mencuri-curi wangimu di antara harum tempias yang jatuh.

Tetapi rupanya diam-diam puisimu lebih dulu menuliskan gerimis yang menyimpan warna ngilu.

Aku pasti terbiasa tanpamu.

Sunyi mulai berhitung. Satu – dua –tiga… hingga tiba kapal sang waktu. Pelupuk hujan tak sempat lagi memberangus.

Puisi karya @_bianglala - http://pelangiaksara.wordpress.com

Kangen Bapak

Kini semua takkan sama lagi
Aku tak lagi bisa berbagi
Nelangsa terkadang rasa di hati
“Gelo”, karna masih ada yang kusesali
Entah sampai kapan sesal ini kan pergi?
Nanti atau kah kan kubawa sampai mati?

Bapak, engkau telah pergi dan takkan kembali
Aku kangen bapak setengah mati
Pada guyonan dan nasehat penguat hati
Aku kangen bapak setengah mati
Kini harus kuhadapi hari, tanpa engkau lagi di sisi

Yogyakarta, 6 April 2014

Puisi karya @MayHpt06 - http://mynameismaylia

Rinduku Kamu

Rona merah jambu menyapaku Isyaratkan getar rindu di titian kalbu Nyanyikan basah hati teramat syahdu Dan perlu kamu tahu bahwa dinding hati tak selamanya beku
Umpama batu ditetesi hujan terus menerus tak kenal waktu

Kamu, ya... kamu! Usik saja aku dengan ingatan biru

Kadar maupun radar sudah tak terhitung ribu
Aku merindukanmu, duhai tuan pencuri hatiku
Manakala getar rindu dan basah hati sampai kepadamu
Usah kamu ragu sebab rinduku kamu, rinduku kamu

Puisi karya @Susi_SmileKitty - http://luphly-shie.blogspot.com

Tentang Kamu

Tuhan tak pernah lelah mencintai aku dan kamu Entah dengan cara yang bagaimana Dia mampu mempertemukan kita. Nyanyian-nyaian kebersamaan terdengar mendekat. Tentang kamu yang tak akan pernah habis, Aksara-aksara yang tak pernah terpenjara. Nada-nada suaramu yang memecah sunyi, Gemerlap dalam gelap malam.

Kau hantarkan rindu yang pernah hilang, bersemi bersama mentari pagi Aku mencintaimu kasih, Mencintai semua tentangmu. Untuk itu aku menjemputmu kembali, meraih tanganmu yang penuh dengan rindu.

Puisi karya @dyazafryan - http://dyazafryan.wordpress.com

Sepenggal Kenangan

Ketika itu senja perlahan rebah di kejauhan Engkau ada di benakku, berkelebatan Nyatanya bukan kau sejatinya, hanya bayangan Ah, mungkin itu hanya ekor mimpi panjangku Nyatanya bukan kau seutuhnya, cuma semu Gemerlap serupa kilatan cahaya, berpendar biru Aku tahu kau telah berlalu, tersisa sedih di situ Nelangsa dan lara terasa jua, meradangkan hidupku

-kaki Merapi, 5 April 2014, di petang malam Minggu-

Puisi karya @phijatuasri - http://lariksyair.blogdetik.com

Kematianku

Kencangkan sabuk pengamanmu, lalu berpeganganlah dengan erat, sebab aku akan membawamu pergi dengan kecepatan yang lebih lesat dari kilat.

Entah apa yang akan kau pikirkan setelah kita sampai di tujuan, karena sesungguhnya aku tak peduli, sama seperti tak pedulinya kau pada pohon-pohon cabe yang kusemai di pot-pot mungil di teras rumahmu.

Mungkin segalanya akan berubah atau tidak sama sekali, sebab yang akan kutunjukkan sesungguhnya jauh lebih baik atau lebih buruk dari sesuatu yang sedang kau bayangkan.

Atau bila memang jauh meleset dari apapun yang berlarian di kepalamu, kuharap kau tidak terkejut lalu memaksa pindah ke kepalaku, karena aku sudah terlalu sibuk dengan kebun buah dan bunga yang lebih sering kau bilang belantara di kepalaku.

Tapi ketahuilah, bahkan di pikiranku kau tak akan lebih buruk dari semua hewan-hewan liar yang sering beterbangan dari mulutmu atau sumpah serapah dari bibirku ketika kita sama-sama meninggalkan otak kita dan membiarkannya berlibur sejenak menikmati angin semilir di tengah hutan.

Ingatlah saat kita masih saling bertukar permen kapas di taman lalu berlarian dan berkejaran sambil tertawa-tawa seperti adegan film India yang kadang membuatku merasa aneh karena kita pernah melakukan adegan menggelikan itu.

Apakah kau masih memejamkan matamu saat kita sedang melaju karena terlalu cepat menurutmu namun terlalu lambat menurutku?

Nyatanya kau tetap sedingin kutub utara meski kita telah mendarat dengan penuh memar dan lebam di sana-sini karena membentur banyak aksara yang beterbangan di tengah jalan.

Kematian bukan penyelesaian, namun akan kukabulkan bila kau menginginkannya, maka di sini akan kugali pemakamanku sendiri lalu kita akan terbebas dari apapun yang coba kita paksakan untuk disatukan.

Usaikah? Setelah ini? Langit menampilkan semburat ungu, sedang burung gagak menyanyikan lagu dari neraka; aku masih terus asyik menggali, sementara kepalaku mengikutimu.

Pangkalpinang, 5 April 2014

Puisi karya @isyiaAyu - http://isyiaulfa.wordpress.com

Jumat, 04 April 2014

Semenjak Perpisahan

Sejak perpisahan dipelabuhan yang tanpa senja romantis dan cium hangat Aku telah bersepakat dengan diriku melawan lupa Mengakarkan ingatan sedalam-dalamnya tentang musim semi yang selalu berhasil kau mekarkan sepanjang tahun Dimana kita tak lagi dua melainkan satu Dimana aku dan kamu tersesat menjadi kita dan tak lagi ingin kembali

Tahun-tahun akan segera berlalu Lantas kelabu melemahkan ingatan juga keyakinan Apakah kita akan tetap kita? Kamu tetap kamu dan aku tetap aku Yang saling mengagumi bahkan kala senja di mata telah menjelma purba

Entah diri dan ingatanmu sekarang Namun hingga kini potongan-potongan kenangan tentangmu Membuat diriku menuju ke satu muara

:utuh

-Ambon, 3 April 2014-

Puisi karya @didochacha - http://mruhulessin.wordpress.com

Tentangmu, Hatta

Bung, Sahajamu perlahan terbaca dari sebalik bingkai lensa Mereka bilang, kau, “Om Kacamata” sebagian lagi menyandangkan gelar, “Gandhi of Java”

Tulusmu terbingkai di sana menjadi sahabat bagi sesama Tiada sekat budaya, ras, geografis, atau agama semua kau rengkuh, seperti sahabat sejatinya

Tiada lebih kau harap, satu asa yakni bangsamu merdeka Berdikari dengan segala pusaka tersimpan di bumi Nusantara

Bung, Teguhmu perlahan terbaca dari selarik janji setia, “Takkan saya beristeri, jika Indonesia belum merdeka” Hatimu masih terpaut pada revolusi Jiwamu masih tertambat pada pengokohan organisasi Begitulah engkau berjuang, berdiplomasi merentang tanpa jeda, tanpa henti

Bung, Kau, sosok muslim sejati begitu cinta kepada keempat isteri: Indonesia, rakyatnya, buku, dan Rachmi

Tiada kami lupa padamu, kekasih hati Separuh Dwi Tunggal yang memelihara cinta suci seutuhnya … untuk kami, untuk negeri Maka, biarkan jiwamu tetap lekat di hati seperti butiran hujan, sumber inspirasi Meski waktu telah bergulir terlampau jauh takkan lekang sejarahmu, takkan luruh

-kaki Merapi, 3 April 2014, jelang tengah malam-

Puisi karya @phijatuasri - http://lariksyair.blogdetik.com

Teriak Dada

Ada yang terlupa, pada satu masa di kedalaman dada.

Ada yang tersiksa, kala ingatan meraja perjuangan tokoh bangsa.

Ada yang bungkam dan hilang, ditelan perubahan zaman meski cabikannya terbayang.

Ada yang terlupa, tersiksa, bungkam, dan hilang bagai pengkhianatan sedang dalam dada berteriak penolakan.

Puisi karya @Susy_SmileKitty - http://luphly-shie.blogspot.com

Elegi Lupa

Kadang aku membayangkan kenangan mendadak lupa, hingga tak ada yang perih saat membuka atau terlampau girang kala mengulang.

Tetapi setiap orang punya ingatan dan ingatan tak pernah lupa.

Lalu aku membayangkan ingatan tiba-tiba lupa, agar kemarin dan waktu sebelumnya ikut dikubur masa.

Tetapi setiap orang punya perasaan dan perasaan sanggup menjangkau apa saja

Lalu aku membayangkan perasaan seketika lupa dan hati bukan lagi timbangan sempurna.

Tetapi setiap orang punya engkau yang selalu hadir di setiap langkah dan jeda.

Lalu aku membayangkan kenangan, ingatan, dan perasaanku tak punya engkau. Tetapi aku punya waktu

Terus kubayangkan tak punya waktu. Lalu aku mati.

Untuk siapa saja yan telah berbuat baik bagi bangsa dan negara. Besar-keclinya upaya, mereka telah mengubah keluh menjadi peluh yang berharga.

Makassar, 2013

Puisi karya @Botsun - http://blackbox-botsun.blogspot.com

Lumpur

Dahulu kami di sana — tak pernah lupa orangtua, lapangan bermain, rumah, sekolah.

Di tanah yang terdahulu — yang tak pernah sama lagi.

Sawah hijau menguning Ladang yang beraneka buah Kembang berwarna Kini satu kegelapan —riwayat yang cemar

Mulut dibungkam Mata dibutakan Kaki tangan dilumpuhkan Airmata adalah lendut membatu

29 Mei 2006 Sejak itu, Dia yang berkulit kuning di bawah langit mentega Sudah lupa Dikubur lumpurnya.

Puisi karya @_bianglala - http://pelangiaksara.wordpress.com

Mereka yang Tak Dikenal

Aspal hitam membentang Sepanjang jalan Anyer-Panarukan Tetes peluh dan darah telah tertuang Oleh mereka yang terlupakan

Mereka,telah meregang nyawa Lebih dari dua belas ribu jiwa Demi menggelar aspal jalan raya Perantara di pulau Jawa

Mereka, memang tak dikenal Mereka, bukan orang terkenal Tapi pengorbanan mereka akan tetap kekal Di seantero Mayapada, mereka tetap kekal

Jalan raya Anyer-Panarukan Bukan hanya sekedar jalan Penyambung hidup mereka yang bernafas Hingga nanti sampai di akhir batas

Bulaksumur, 03 April 2014

Puisi karya @MayHpt06 - http://mynameismaylia.wordpress.com

Percaya atau Tidak

Dengarkan atau tidak. Saat mereka bersua, menyuarakan hak-hak masyarakat. Apakah perlu dipercaya atau tidak? Semua bermain janji. Mengadu emosi yang sedikit menjadi aspirasi demokrasi. Sedangkan kita berdiam atau memilih. Entahlah. Kembali ke hati. Setiap rasa dan pikiran digantungkan pada tiap-tiap harapan. Kita, menolak lupa. Dia masih ada dan setia pada negara. Mengabdi demi bangsa. Meretas kemiskinan. Membudayakan budaya, dan segala hal yang mencintai bumi pertiwi. Percaya atau tidak. Hatiku masih bersandar pada jiwa-jiwa semestinya, apa adanya.

Medan, 03 April 2014

Puisi karya @WE_Dewie - http://wedewie.blogspot.com

Memulai Orasi

Memulai menulis, hari ini.

Mungkin menulis puisi, seperti puisi

Seperti dulu, sebuah orasi dimulai, dulu dilukai

Kini mengira-ngira, mengawali. Satu diksi, Lalu menebak satu kata lagi, berikut merangkai Berputar-putar di labirin ingatan berdaki.

Di mana kira-kira orasi diakhiri?

“Lupa,” katamu sembari mengedik bahu.

Sebelum mereka pergi —berkhianat lagi Terakan. Jangan lupa sertakan satu penanda serupa lebam di ujung kelingkingmu. agar menolak lupa.

Puisi karya @_bianglala - http://pelangiaksara.wordpress.com

Mengingat Kami

Kami tak menyebut diri sebagai pahlawan. Suara kami berasal dari rengekan anak-anak yang meminta susu dan baju baru. Kami orang-orang yang nasibnya lebih sering terapung dan hanyut menabrak-nabrak pinggiran sungai kotor penuh sampah dari tangan-tangan wakil kami.

Hidup jauh dari tubuh yang darahnya sama mengalir di tubuh kami adalah ketakutan yang menjadi ketaatan. Melangkah ke luar rumah dan masuk rumah lain yang tanahnya tak segembur tanah ladang di kampung. Kalian akan menemukan kami tersebar di seluruh bumi. Hidup dihajar nasib.

Kadang kami beruntung, tapi sering juga menunggu mati di tiang gantung. Saudara-saudara kami jauh takkan sanggup menempuh. Cuma doa-doa kalian yang jadi tangan pemeluk tubuh tanpa daya hukum.

Semoga tidak lagi ada tubuh gemetar meringkuk dengan bekas tampar, atau di sudut ruang basah penjara terkapar.

Pemimpin kami yang baik budi, kami masih ada jika kau sedikit lupa. Tolong kami dari nasib dingin, jangan cuma prihatin.

Kami tak menyebut diri sebagai pahlawan.

~ teras atas, 03 april 2014

Puisi karya @dzdiazz - http://aksaralain.blogspot.com

Rabu, 02 April 2014

Ibu Kami tak Punya Nurani

Orang-orang kelabakan

Takut anaknya tak lulus ujian

Orang-orang semakin edan

Mengusir mereka yang membongkar kebobrokan

Mereka bilang ibu kami tak punya nurani

Ibu Siami

Puisi karya @tan3ana - http://ucaaa.tumblr.com

Sendiri

Diam. Sunyimu hanya sepi. Temaram, Hingga waktu telah pagi.

Ia menolak untuk pergi. Menolak lupa tentang kekasihnya yang telah mati. Tertidur dengan memeluk wajah kekasihnya dalam bingkai. Ia tak ingin mati dan memilih sendiri.

Puisi karya @dyazafryan - http://dyazafryan.wordpress.com

Menepis Lalai Sang Penggerak

Hampir enam belas tahun berlalu

Keberadaanmu masih tak menentu

Aram-temaram kabar tentangmu

Hanya menyisakan luka pilu

Telah lama dicari

Telah lama dinanti

Ditelusuri tanpa henti

Tanpa hasil berarti

Menepis lalai Sang Penggerak

Meski sampai kini belum tersibak

Tak satupun misteri terkuak

Bagai lenyap tanpa jejak

Menepis lalai Sang Penggerak

Hingga tirai kan tersibak

Semua tanya pun terkuak

Menepis lalai Sang Penggerak

Bulaksumur, 02 April 2014

Puisi karya @MayHpt06 - http://mynameismaylia.wordpress.com

Kita Seperti Embun

Kenapa kau terus jejalkan

Sebuah rindu tanpa pertemuan

Kenangan yang berkarat dipikiranku

Menolak untuk lupa

Rasa jengah itu tak pernah sekalipun pergi

Memaksaku menulis bait demi bait

Ribuan puisi sepi

Dari segenggam hati

Untuk sepasang mata teduh

Kita…

Tidakkah kau rindu menyebutnya?

Pernahkah kau menolak lupa?

Pada kisah romantis

Sesingkat embun yang tak pernah mampu

Menolak untuk menguap

Puisi karya @GistiiRa - http://gradistie.wordpress.com

Dan Lalu

Kaki-kaki melangkah tidak menapak

Bicara saja disana, biar angin yang meniupnya

Mereka bilang bohong padahal iya

Mereka bilang jujur meski sulit dipercaya

Mengalir saja seperti air raksa diatas dahi

Tak tercium, tak berasa, tak bisa diduga

Terbawa arus mengalir ke hilir kembali ke hulu

Kemudian seperti itu

Begitu

Seterusnya

Rebahkan saja pikiran-pikiran kosong itu

Badanku sudah beku, pemikiranku menunggu

Teriaki saja kataku jika sudah datang waktu

Puisi karya @RGAgastya - http://rgagastya.tumblr.com