Minggu, 25 November 2012

Hari Ini, Hujan Kembali Pergi

21 Oktober 2012
Mei, jalan-jalan yang kita lewati detik tadi,
ialah jalan-jalan yang sering aku lewati dengan sendiri,
yang kadang aku bayangkan,
betapa indah bila akan kutempuh dengan satu tujuan.
Saban hari, aku hanya berjalan menuju sesuatu,
yang hanya mampu membuat aku menahan senyum,
membenam lebih lama dendam,
memendam lebih banyak diam.
-

(Semoga, setiap detak yang degup di ujung tapakku,
setia menjelma payung kasat mata,
meneduhkan langkahmu, selalu.)


Lalu datanglah cerah, curah hujan yang ceria.
Aku sering berjalan sendiri, menembus hujan,
menuju genangan kenangan.
Aku senang sekali berjalan bersama hujan,
aku dan hujan sering bermain mencari kecepatan.
Aku selalu kalah, tetapi
selalu hujan yang akan pergi,
menuju pedih.
-
(Pedih, sesungguhnya hanyalah tetesan air mata yang membeku,
terlindap debu lalu bersekutu menjelma dinding batu.
Maka, biarlah rindu merupa badai,
biar debu enyah dan pedihmu usai.)


Meski setiap ia pergi, aku berdarah bersama senja,
tetapi hujan tak pernah lupa.
Langit tak pernah luput mengenakan selimut.
Katanya,
“Ada tujuh warna dalam selimutku.
Langit ialah ranjang tanpa tubuh.
Kau dan orang-orang yang mencintai masa lampau,
ialah tubuh untuk selimutku: pelangi.”
Setiap hujan pergi,
setiap aku berdarah dan sendiri,
aku selalu mengenakan selimut.
Hujan tak pernah lupa akan hadiah untuk kemenangan dan kenanganku.
-

(Hujan tak pernah benar-benar pergi.
Langkahmu tak pernah benar-benar sendiri.
Ia bergelayut di bahu-bahu awan,
menanti diluruhkan biar bersambut pelukan.)


Bulan-bulan berlalu seperti deru,
hingga hujan meninggalkan dan menanggalkan aku.
Suatu hari, setelah sekian jalan aku mencari,
hujan tak kutemui.
Aku menangis menjadi-jadi.
Aku bertanya kepada senja.
Katanya,
“Ia kembali pada tangan-tangan dan tanah para petani.”
Hingga aku tiba di suatu siang,
ketika aku mengenang kenangannya.
Aku melihat seorang gadis,
seluruh tubuhnya seperti habis dibasuh gerimis.
Aku merasa pernah melihatnya,
aku merasa pernah menyentuh sesuatu dari dirinya,
aku merasa pernah bermain-main dengan dirinya.
Tetapi, setelah sekian aku pikirkan,
ia tiba-tiba tak ada,
dan tiba-tiba tiba air mata.
-
(Lihatlah ke dalam cermin,
di dasar hatimu yang beranjak dingin,
di sana air mata berbahasa melalui cahaya,
mengucap rindu tanpa kata-kata,
menyelipkan keberadaan di balik perihal yang kausangka tiada.)


Hari ini,
hanya ada awan,
dengan warna yang amat merindukan pelukan.
Hari ini,
hanya ada kata-kata yang hujan,
meluruh dalam seluruh ruh dan senyuman.
Hari ini,
hanya ada aku,
dan sebuah buku,
yang seluruh mata, kata, dan hatimu pernah membacanya.
-
(Hari itu,
ada sebagian diriku dilekap rindu,
dan sebagian tersisa masih tertinggal di sudut matamu.
Maka hari ini,
aku akan kembali,
menarikmu dari ambang sunyi.)


Aku mulai berjalan dari halaman awal.
Aku mulai membaca.
Mata, kata, dan hatimu mulai membaca.
Aku memulai segalanya setelah usai.
Hari ini,
hujan menjadi mata, kata, dan hatiku,
di antara mata kata dan hatimu.
Aku akan mulai membaca.
-
(Jangan lelah,
sebab aku tak ingin pemandangan indah ini selesai.
Jangan lelah,
sebab aku akan selalu kembali meski yang tersisa dalam sunyimu hanyalah kepingan badai.
Jangan lelah.)


Puisi Karya @tepian_pantai dan @meyDM - http://meydianmey.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar