Minggu, 25 November 2012

Hujan Menjelang Senja

Di muka jendela, angin masai merapikan rambut kusamnya yang sudah seminggu rindu pada gigi-geligi sisirnya yang sudah mulai ompong. Anganku beterbangan sedari tadi, melihat pias wajah pasinya, menatap gelung-gelung awan yang sewarna abu rokok.

Di beranda rumah berbentuk joglo, aku duduk menemani khayalnya sambil sesekali menandaskan secangkir kopi yang ia buat dengan jari-jarinya yang terkadang tremor — mencecap nikmat pertemuan, begitu singkat. Sementara, dirinya kembali terpaku di sisi daun jendela yang engselnya kerap berdecit, ngilu, seperti rindu musim bertemu usai.

***

Jalan-jalan lengang, hanya ada beberapa kanak — ia mengenangnya sebagai aku yang belum didewasakan kehidupan — berlari-larian menjaring rerintik yang kian deras dan lusinan kenangan yang mondar-mandir di kepalaku serta di manik matanya yang juga menjatuhkan hujan.

Senja kali ini, mentari urung mengantar jingga. Pun tak jua membawa lupa.

Gelung-gelung awan itu, kini sudah seperti bubuk kopi, menunda lelapnya kenangan. Lalu lampu-lampu jalan adalah bibir-bibir delima yang pandai menyalakan rupa kerinduan. Malam, batas perjumpaan.

“Ibu, anakmu ini kangen rumah dan pelukan.”


Puisi Karya @acturindra - http://senjasorepetang.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar