Kamis, 29 November 2012

Di Dinding Tua Kota Lama

– BBZ

Lusinan kata membentang di nyalang siang langit Semarang
Dari lorong-lorong tua juga lampu-lampu jalan kota lama yang serupa potongan-potongan piktograf terhampar kian nyata
:menceritakan sekelumit cerita pada sepasang mata kamera.
Waktu-waktu tandas lekas berlalu, sementara kisah-kisah baru menggamit lekang kenang-kenangan bisu.

Dalam ingatan yang terekstrapolasi — tentang dinding-dinding retak, kolam-kolam suram, juga pada jalan-jalan yang tak lagi rapi.
Ada yang masih ingin tereja di lembaran masa; guratan-guratan agung, mematungkan segenap peristiwa-peristiwa elusif pada lensa kamera, memungut spektrum-spektrum pasi di gedung-gedung tua yang belum bosan berdiri.

Puisi Karya @acturindra -- http://senjasorepetang.wordpress.com

Aku dan Kamu Lahir di Kota Ini

Aku teringat pada sebuah kota yang mengingatkanku akan kamu
Mengingatkan kelahiran kita

Pikiranku tertumbuk pada suatu
sudut taman yang berangsur sepi
Tanahnya berlubang, pohonnya tak rindang lagi
Di salah satu sudutnya
rumahmu yang megah berdiri, sendiri

Aku teringat pada suatu sisi yang lain
Senja mengubur hari
Langit seperti berapi
Pasir pantai menjadi saksi
Lengan yang saling mengait
Bahu yang menjadi sandaran lelah dan sakit

Aku teringat pada sebuah kota
Yang jalanannya menjadi kawan
motor-motor sewaan yang kita kendarai bersama
Kota tua, stasiun, Tugu Muda

Aku teringat pada sebuah kota
yang bukan kota kelahiranku
Bukan pula kota kelahiranmu

Kota ini adalah tempat di mana cinta dibesarkan
Hingga tumbuh menjadi rasa yang kuat namun ramah
Kokoh namun sederhana
Ramai namun hanya milik kita berdua

Aku teringat pada sebuah kota
yang aku beri nama Sekarang
Tetapi kamu lebih suka menyebutnya Semarang

Semarang, kota(ku) Sekarang.

- Semarang, 291112


Puisi Karya @ManDewi -- http://takhanyacinta.wordpress.com

Jantung Kota

denyutnya
— bikin insomnia
detaknya
— bikin amnesia
Puisi Karya @aa_muizz -- http://butirbutirhujan.wordpress.com 

Museum Kota

Di sini aku singgah, duduk bermanja-manja..
Kicau riuh klason memecah sepi di beranda rumah..
Bukit batu megah menghiasi cakrawala..
Lampu-lampu jalan jadi teman ketika berjalan di gelap malam, menggantikan si bulan yang sedang cuti dinas..
Tanah dihiasi beton hitam legam, tak mengeluh meski darah dan air mata tercurah di hadapannya..
Hari ini jika telah selesai ditulis cerita, catatannya masuk museum kota..

Puisi Karya @warniwarnaku -- http://warniwarnaku.tumblr.com

Ada Cerita di Sana

Mulai menjajaki, pertama kali menjejak

kusebut sunyi

hanya derap-derap langkah mengisi sudut-sudut jalan

deru mobil ramah akan suara

berjalan waktu

kebisingan adalah penghuni baru

satu langkah menjadi kecemasan dan tabungan kesabaran

ramah adalah kepuraan di persimpangan

sapaan hanya berupa jerit klakson

seperti memekak telinga, meminta jalan

tidak ada yang dikenang, kecuali hujan dan semuanya diam

menyesak di emper-emper toko menghindar deras tak berkesudahan

penuh sudah kota ini

tapi cinta dan kesetiaan menyuguh detak hati

hidup di sini, adalah pilihan sebelum mati

menyerap ilmu sebanyak denyut nadi

aku tak menetap

hanya singgah sebentar

lalu mencintai dan menitip keberadaan

di mana aku, di mana kota kecil ini mengajari

tentang hidup dan cinta

*ini catatanku di Salatiga*

Puisi Karya @dzdiazz -- http://dzdiazz.blogdetik.com

Setelah Pukul 22.00 -- Tak Lagi Lengang

Pulang ke kotamu,

: katamu,

Setangkup haru dalam rindu,

: kataku.



Pada lengang jalanan kota – pukul 22.00

Setelah aku menjemputmu di stasiun tugu – pukul 20.00

“Tak apalah, asal bersamamu”
Sesekali kau mencuri cium di bahuku – kangen



Pukul 22.00

Jalanan kota kini riuh serempak

Pun pada sudut kota, di setiap tepi jalanan

denting sendok beradu gelas kopi
terbahak kumpulan lesehan para lajang sedang menepikan sepi
bletak perkusi serta senar gitar berlagu melodia masa kenangan

Semua keriuhan itu,

cukup sembunyikan detakku yang tak biasa kali ini

sebenarnya lebih degup dari keramaian di tepian jalan



Pada lengang jalanan kota – pukul 22.00

Remang lampu kota, ke arah selatan kita menyusuri larik pelangi

“pun aku mencintaimu,”katamu.


Setelah pukul 22.00

Sepanjang jalan ke selatan tak lagi lengang.


Puisi Karya @_bianglala -- http://pelangiaksara.wordpress.com

Di Halaman Rumahmu

Yang kau tanam di halaman rumahmu
sudah menjadi bahasa, yang kini
menanggung perih musim
bagi daun-daun kuning
jatuh menimpa jari
tanganku;
rinduku
Pun
pernah
terulur untuk
menggenapi sisa-sisa
doa, yang terus mengawang dan
hilang di peram kesunyian masing-masing

Solo 2005-2012

Puisi Karya @_nears -- http://retakkayu.wordpress.com

Jelang Zaman Es

Jelang zaman es
baju zirah tersemat apik
pada bahu-bahu kota
Aku
menelusupi jeda-jeda
Menyuara doa
rebahlah di pelupuk senja

Baju zirah rekah sebagian
kota-kota menyembunyikan matahari
di balik punggungnya
Lekas rebah, sayang
salju kian merapati dermaga

Matahari khusyuk berjuang
bahu kota dijejaknya
Angin riuh mengiring
Beranjak kempis
rongga dadaku kering

Direguknya bulat-bulat
biar berbelit
di balik punggung
Matahari teramat jumawa
Selamat rebah zaman es
lain waktulah bersinggah

Puisi Karya @meyDM -- http://meydianmey.wordpress.com

Rindu Senandung Pagimu

Aku menghela nafas lebih lega, membiarkan udara menjalar ke seluruh tubuhku, memelukku
Aku terdiam melumat senyum, kehabisan kata saat kembali terduduk di pangkuanmu
Mengendapkan seluruh luka yang tetiba saja menggores ketika aku gagal bertemu
Ya, aku harus memupus semua haru biru pertemuan yang telah aku bayangkan lebih dulu

Sekarang, aku disini bersamamu, di satu waktu yang selalu aku tunggu
Aku menikmati cumbu darimu yang selalu aku rindu
Dinginmu, sejukmu, serta teman pagi yang membalut aku dengan syahdu
Aku, yang kemudian tak lagi ingin meninggalkanmu

Mungkin, bukan kau yang merasa sendiri kemudian sepi
Mungkin, bukan kau yang terantuk-antuk rindu kemudian membiru
Mungkin, kau lebih menikmati segala yang baru, menghampirimu
Mungkin, kau lebih menikmati sapa-sapa asing yang aku kira semu

Aku, aku yang memupuk rindu-rindu untuk senandung pagimu
Aku, aku yang selalu berangan kembali ke pelukan tenangmu
Aku, aku yang tak mampu menawarkan cinta kepada selain kamu
Aku, aku yang terus menggebu mengelu-elukan kamu, indahmu

Sayangnya, aku tak lagi melihatmu yang begitu lugu
Kau lebih kekar dengan sembarang rasamu yang kadang terlihat tak menyatu, denganmu
Sayangnya, aku tak lagi melihatmu yang menyukai sepi di sekian titik waktumu
Kau lebih bingar dengan sembarang hiburan yang kadang aku tak yakini, itu kesukaanmu

Kamu,
Aku suka mendapati pelukanmu
Aku bahagia kau cumbu dengan udaramu
Aku berpesta dengan kecupan senjamu

Namun, aku....
Masih saja merindu
Tentang kamu, tanpa bingar yang melekat padamu
Tentang kamu, yang menyambutku dengan nyanyian burung pagimu
Di situ, alun-alun kotaku
Kamu, Malang yang syahdu

Puisi Karya @wulanparker -- http://lunastory.blogspot.com

Minggu, 25 November 2012

Hujan Menjelang Senja

Di muka jendela, angin masai merapikan rambut kusamnya yang sudah seminggu rindu pada gigi-geligi sisirnya yang sudah mulai ompong. Anganku beterbangan sedari tadi, melihat pias wajah pasinya, menatap gelung-gelung awan yang sewarna abu rokok.

Di beranda rumah berbentuk joglo, aku duduk menemani khayalnya sambil sesekali menandaskan secangkir kopi yang ia buat dengan jari-jarinya yang terkadang tremor — mencecap nikmat pertemuan, begitu singkat. Sementara, dirinya kembali terpaku di sisi daun jendela yang engselnya kerap berdecit, ngilu, seperti rindu musim bertemu usai.

***

Jalan-jalan lengang, hanya ada beberapa kanak — ia mengenangnya sebagai aku yang belum didewasakan kehidupan — berlari-larian menjaring rerintik yang kian deras dan lusinan kenangan yang mondar-mandir di kepalaku serta di manik matanya yang juga menjatuhkan hujan.

Senja kali ini, mentari urung mengantar jingga. Pun tak jua membawa lupa.

Gelung-gelung awan itu, kini sudah seperti bubuk kopi, menunda lelapnya kenangan. Lalu lampu-lampu jalan adalah bibir-bibir delima yang pandai menyalakan rupa kerinduan. Malam, batas perjumpaan.

“Ibu, anakmu ini kangen rumah dan pelukan.”


Puisi Karya @acturindra - http://senjasorepetang.wordpress.com

Perayaan Rahasia


Saat hujan, kita selalu merayakan ketenangan. Awan-awan berarak bergandengan tangan, menyusun helai-helai puisi tak lekang. Hingga puisi itu menderas dalam alunan tangan-tangan penyair, yang kemudian memeluk telinga-telinga kita yang mabuk oleh tiap teguk cinta. Kita masih saja menjadi rahasia dalam tenang.

Saat hujan, kita selalu merayakan kesenangan. Kamu melempar payung biru tempat para malaikat menyanyikan lagu sendu. Aku melepas sandal yang membawaku kepada kata-kata banal. Kita berlarian menembus rinai puisi yang berjatuhan dalam hati yang menampung berjuta harapan. Lalu kita tersesat dalam rimbun aksara, tertawa bersama segenap duka.Kita menyusun rahasia demi rahasia dengan senang.

Saat hujan, kita selalu merayakan kemenangan. Kamu menangkapku yang sedang dikejar rindu. Aku tertunduk malu melihat kebodohanku yang tak pernah menyadari sedang bermain-main dengan rindu yang berpadu denganmu. Kamu menang. Aku kau menangkan. Kita membiarkan rahasia sebagai pemenang.

Saat hujan, kita selalu merayakan kenangan. Kamu menguap, aku terjerembab. Kita saling melihat dalam dimensi yang tak kasat. Di sana, ada kenangan yang tak bisa kita rengkuh dalam dekap pelukan. Kini, kita merelakan rahasia itu tertidur dalam kenang.


Hujan, rindu, dan kenangan adalah suatu perayaan rahasia.
Puisi Karya @aa_muizz - http://butirbutirhujan.wordpress.com 

Sisa Hujan Semalam

Hujan semalam meninggalkan bekas genangan di sepanjang jalan;
beribu jejak kenangan yang tak ingin kulupakan.

Tetapi ada satu yang tertinggal di saku kiriku,
Ah, ternyata rindu,
Berdetak menyebut namamu,
Memompakan ingatan-ingatan tentangmu, ke otakku.
Mengalirkan sepi-sepi, ke hatiku.

Dan tampaknya,
Aku harus memaknaimu seperti hujan,
Yang tiba-tiba jatuh,
Lalu hilang,
menyisakan kerinduan.


Puisi Karya @is_nna - http://risnaristiana.blogspot.com

Rintik Alkohol

Maaf
Kemarin hujan, sayang, aku kedinginan
Kuseka embun di bingkai kamarku, sambil mengenang caraku menyeka sepasang hujan di matamu
Kupeluk erat selimut dan guling di kasurku, sambil mengenang caramu menghangatkan kesedihanku


Maafkan aku
Seharusnya tak perlu kuungkit dosa-dosamu
Tak perlu kubentak-bentak gagang telpon di kupingku
Tak perlu kuhina pacarmu, hanya karena kau pernah jadi milikku


Maafkan aku, kemarin aku mabuk
Tiga botol bir, empat sloki whiskey, dan tiga gelas vodka habis dalam sejam
Sebenarnya, aku tidak mencari mabuk, mabuk yang mencariku
Mencari-cari sampai ke pelosok rindu


Maafkan aku, kemarin aku mabuk cinta
Aku mencoba kabur dari rindu yang sedang mabuk-mabukan
Tapi rindu adalah bayanganku
Rindu adalah aku
Rindu adalah kamu


Aku rindu kamu, sayang

Puisi Karya @aditya_hs - http://kanvas-hitam.blogspot.com

Nanti, Bila Kamu Sudah Punya Cukup Waktu

Aku mengingat kamu dalam perjalanan pulang
dari taman tempat lengan kita seharusnya terentang
Mungkin kamu tak punya cukup waktu untuk datang
tak mengapa, karena aku pun tak punya cukup waktu untuk
terus sembunyi di balik bayang-bayang rindu yang belang
rindu yang mendatangkan harapan di tengah-tengah gamang

Rintik-rintik hujan mengenai rambutku ketika aku duduk menunggu
Rintik hujan yang terdengar rintih seperti tangisan perdu
karena diabaikan berpasang-pasang tubuh yang sibuk bercumbu
Perdu di tengah taman yang membatasi khayalanku tentangmu

Bagaimana aku bisa mengkhayalkan kamu sementara kamu tak ada
Kamu bukan Tuhan yang kata orang tak boleh aku visualkan
Dan kamu bukan ruh yang sudah kehilangan raga

Kamu punya alis mata yang tebalnya sama dengan suaramu
Kamu punya kaki jenjang yang mengajakku berjalan menuju masa depan
Kamu punya dada bidang tempat menyematkan rindu demi rindu
-kecuali rindu yang baru saja kamu sia-siakan

Kamu punya aku yang belum pulih
Berjalan pulang ditemani hujan rintih-rintih
dan rindu yang pedih
Dan lampu-lampu jalan yang memandangku lirih

Kelip kilat
Gemuruh langit
Langkah kaki
Nyanyian semesta lainnya
Dan aku yang ingin mencumbumu
Nanti, bila kamu sudah punya cukup waktu

–Semarang, 241112


Puisi Karya @ManDewi - http://takhanyacinta.wordpress.com

Rinai Hari Ini

Hingga langit menggelap malam :
tanpa niatan meleraikan hunjaman pada pipi perawan
jemarimu hujan membelai– membasahi wajah sembunyikan rindu
bahkan getar dari gigil basah, menyimpan rahasia sedekap hangat
menunggunya kembali di sini, pasti memelukmu
tetapi kepal kenangan membatu, tak hendak melumer – dari amarah mengaduk

Rinai hari ini adalah tirai tergigih, sembunyikan patahan pelangi hingga paling serpih.

Puisi Karya @_bianglala - http://pelangiaksara.wordpress.com

Selayak Hujan

Seperti hujan, jatuhlah
Tidak usah berpikir untuk dikenang
Ia akan menggenang
Bahkan tidak perlu deras
Tempias saja, aku basah

Anggap aku tanah
Tak perlu sungkan
Anggap aku berteduh
Jatuhlah terus

Redamu bukan kehilangan
Selepasnya pelangi
Seumpama sepi menawarkan diri
Iyakan, untuk menemani

Aku,
Masih menjadi setia
Dari bumi tempat kita mengumpulkan cahaya-cahaya dari matahari..


Puisi Karya @dzdiazz - http://dzdiazz.blogdetik.com

Payung Bergoyang

Langit gelap, gelap menyekap..
Sang bayu megap-megap..
Bumi menengadah tangan, mengusap bulir-bulir peluhan..
Daun-daun menampung kesedihan, ranting-ranting memeluk gigilnya..
Gemericik air di bebatuan..
Suara demi suara membuat kegaduhan..
Masih terdengar walau pun jendela dan pintu tertutup rapat..
Aroma tanah menggelitik ingatan; tentang payung yang bergoyang..
Tangan dan lengan bergandengan, sepasang kaki bertarian..
Sepasang mata menuturkan kejujuran, dua bibir bertukar senyuman..
Di bawah payung yang bergoyang, bunga-bunga bermekaran, kupu-kupu berdatangan..
Ah, itu hanya ingatan..
Dari balik jendela, ku lihat kamu berjatuhan di mana-mana..
Lalu ku buka pintu, menyambut mu datang di bawah payung yang bergoyang..


Puisi Karya @warniwarnaku - http://warniwarnaku.tumblr.com

Hari Ini, Hujan Kembali Pergi

21 Oktober 2012
Mei, jalan-jalan yang kita lewati detik tadi,
ialah jalan-jalan yang sering aku lewati dengan sendiri,
yang kadang aku bayangkan,
betapa indah bila akan kutempuh dengan satu tujuan.
Saban hari, aku hanya berjalan menuju sesuatu,
yang hanya mampu membuat aku menahan senyum,
membenam lebih lama dendam,
memendam lebih banyak diam.
-

(Semoga, setiap detak yang degup di ujung tapakku,
setia menjelma payung kasat mata,
meneduhkan langkahmu, selalu.)


Lalu datanglah cerah, curah hujan yang ceria.
Aku sering berjalan sendiri, menembus hujan,
menuju genangan kenangan.
Aku senang sekali berjalan bersama hujan,
aku dan hujan sering bermain mencari kecepatan.
Aku selalu kalah, tetapi
selalu hujan yang akan pergi,
menuju pedih.
-
(Pedih, sesungguhnya hanyalah tetesan air mata yang membeku,
terlindap debu lalu bersekutu menjelma dinding batu.
Maka, biarlah rindu merupa badai,
biar debu enyah dan pedihmu usai.)


Meski setiap ia pergi, aku berdarah bersama senja,
tetapi hujan tak pernah lupa.
Langit tak pernah luput mengenakan selimut.
Katanya,
“Ada tujuh warna dalam selimutku.
Langit ialah ranjang tanpa tubuh.
Kau dan orang-orang yang mencintai masa lampau,
ialah tubuh untuk selimutku: pelangi.”
Setiap hujan pergi,
setiap aku berdarah dan sendiri,
aku selalu mengenakan selimut.
Hujan tak pernah lupa akan hadiah untuk kemenangan dan kenanganku.
-

(Hujan tak pernah benar-benar pergi.
Langkahmu tak pernah benar-benar sendiri.
Ia bergelayut di bahu-bahu awan,
menanti diluruhkan biar bersambut pelukan.)


Bulan-bulan berlalu seperti deru,
hingga hujan meninggalkan dan menanggalkan aku.
Suatu hari, setelah sekian jalan aku mencari,
hujan tak kutemui.
Aku menangis menjadi-jadi.
Aku bertanya kepada senja.
Katanya,
“Ia kembali pada tangan-tangan dan tanah para petani.”
Hingga aku tiba di suatu siang,
ketika aku mengenang kenangannya.
Aku melihat seorang gadis,
seluruh tubuhnya seperti habis dibasuh gerimis.
Aku merasa pernah melihatnya,
aku merasa pernah menyentuh sesuatu dari dirinya,
aku merasa pernah bermain-main dengan dirinya.
Tetapi, setelah sekian aku pikirkan,
ia tiba-tiba tak ada,
dan tiba-tiba tiba air mata.
-
(Lihatlah ke dalam cermin,
di dasar hatimu yang beranjak dingin,
di sana air mata berbahasa melalui cahaya,
mengucap rindu tanpa kata-kata,
menyelipkan keberadaan di balik perihal yang kausangka tiada.)


Hari ini,
hanya ada awan,
dengan warna yang amat merindukan pelukan.
Hari ini,
hanya ada kata-kata yang hujan,
meluruh dalam seluruh ruh dan senyuman.
Hari ini,
hanya ada aku,
dan sebuah buku,
yang seluruh mata, kata, dan hatimu pernah membacanya.
-
(Hari itu,
ada sebagian diriku dilekap rindu,
dan sebagian tersisa masih tertinggal di sudut matamu.
Maka hari ini,
aku akan kembali,
menarikmu dari ambang sunyi.)


Aku mulai berjalan dari halaman awal.
Aku mulai membaca.
Mata, kata, dan hatimu mulai membaca.
Aku memulai segalanya setelah usai.
Hari ini,
hujan menjadi mata, kata, dan hatiku,
di antara mata kata dan hatimu.
Aku akan mulai membaca.
-
(Jangan lelah,
sebab aku tak ingin pemandangan indah ini selesai.
Jangan lelah,
sebab aku akan selalu kembali meski yang tersisa dalam sunyimu hanyalah kepingan badai.
Jangan lelah.)


Puisi Karya @tepian_pantai dan @meyDM - http://meydianmey.wordpress.com

Tak Selamanya Keabadian Itu Baik

Aku masih ingat betul katamu
Hujan adalah mainan awan untuk menyembunyikan kerinduan
Pada tanah dan setiap kenangan
Yang pernah ia simpan dalam-dalam


Aku masih merasakan rindu dedaun
Belum usai ketika hujan turun
Sedikit demi sedikit harus berlalu
Menghampiri rindu lain di kota yang lebih haru


Aku membisikkan kau tentang keabadian
Tak selamanya keabadian itu baik
Lalu hujan kembali tumpah
Kita bersorak meriah
Lupa bahwa baru saja kita terpedaya
Keabadian


Kini hujan dikirimkan musim
Dengan mantel yang biasa kukenakan menerpa dingin
Angin membisikkan tentang keabadian
Bahwa yang baik tak dituntut menjadi abadi dalam kenangan


Kebayoran, 221112


Puisi Karya @wajdiv - http://penawadji.wordpress.com

Mengabadikan Kita

Pagi ini, aku ingin menjadi puisi yang gemetar saat kau baca hingga meluruhkan seluruh nafasmu 

Aku mencintaimu tanpa jeda, sepanjang usiaku. sampai bait terakhir kita meluruhkan seluruh nafas ini hingga entah. 

Malam ini, aku akan memunguti ingatan yang berceceran diantara jemari yang terlepas dan punggungmu yang menjauh 

aku gak kemana mana, masih dipojok kanan hatimu terduduk dengan sebuah harapan sambil bermain main dengan anak rindu 

Pagi yang selalu dipenuhi kamu, seperti membuka kenangan di jalanan waktu. ingatanku terbang ke masa lalu 

Di akhir perjalananku aku menemukan kesedihan terpasung gelisah, menatap nanar setiap orang yg lewat berharap ada yang menuntunya pulang. 

Tiba tiba hujan pun turun membasahi atap rumahku, seperti suara gemerincing lonceng dan riaknya membangunkan kesadaran diri manusia. 

Mencari bintang yang terasing dari dekapanku, mencari ke dalam bait bait puisiku yang luruh. apakah kamu bersembunyi disana? 

Pandangan yg malu2,senyuman tertahan, hidung yg kembang kempis, dada yg berdebar serta wajahmu yg memerah. cinta mampu menaklukan sgalanya. 

sepi yang menjelma hening terus berputar mendesing merubah kelam menjadi embun bening menatap diri mu tak bergeming 

Semua hanya kenangan, semenjak kamu mengenalnya dan memberikan harapan lebih. pun, kamu mulai tak mengenal diriku. Dimana kamu.aku rindu. 

Aku bukan pergi nona. tapi, hanya terlepas darimu dan sebagian dariku masih mengembara di hati dan pikiranmu. mencari tempat berteduh.

Sebab bersamamu adalah puisi yang tak pernah aku tulis. biarlah terukir di nafas dan angin yang berhembus 

Semenjak kamu hilang di pelukanku, Semenjak itulah aku mulai tak mengenal dirimu. Hilang diantara pelukan orang lain. 

Malam, aku rindu hujan ingin rasanya buncah di antara riaknya merasakan aromanya dan menimang rindu dibawah piasnya 

Kita sepasang bayangan yang diciptakan oleh jarak menumbangkan segala rindu di jalanan waktu

Puisi karya @Datudwija - http://xoelicious.blogspot.com

Hujan Rintik-Rintik

Sore, lamat-lamat
meninggalkan warna merah
pada tanah, bebatuan
atau rumput-rumput basah

Setelah jendela kamarku
tak lagi terbuka
dan di luar sana
hujan masih menyisipkan
kesedihan, rintik-rintik…

(kulihat sepasang sepi
berkejaran dalam dingin)

Seperti ada yang ingin
kau lerai dari tubuhku
dengan suara yang
tak mampu di peluk telinga

Meski kukenali udara yang
membawa aroma wajahmu
bersama sisa-sisa kecemasan

Tapi barangkali, cintaku
sungguh hanyalah partitur
yang menjelma detak
jarum-jam-dinding
yang likat menempuh
punggung waktu.

Puisi Karya @_nears - http://retakkayu.wordpress.com