barangkali nanti engkau–adam–yang kulihat
pertama hari dimulai terhitung pagi
barangkali nanti aku–hawa– yang kaupandang
pertama melek dari ranjang-ranjang mimpi terhitung malam
Maka marilah kita saling lekat
mendenguskan nafas-nafas cekat
aku dan kamu membuang mata
melumat tubuh dari tinggal di ingatan.
“Tunggu!” pada kata-kata serempak, sebelum usai birahi.
“ada mata tuhanmu di kepalamu. Diam dan membatu.”
Satu tingal itu menetap, menatap tajam.
Dia memulai membacai batu, seperti mengucap tulah.
mengumbar cemar. menangkap gelisah.
mengurung dosa. lalu menutup vonis tanpa ampun.
dan mereka telanjang pendosa yang terkutuk.
Dia mata ketiga — yang tak terlihat untuk melihat yang tak terlihat.
Puisi karya @_bianglala - http://pelangiaksara.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar