Hujan, gerangan apakah yang mengirimkan rindumu sebegitu menderu kepada bumi, hingga dedaun gugur tak dapat menahan sendi.
Untuk apa angin mencari ruang-ruang hampa, cahaya menerangi sunyi sepi.
Jika awanmu menutupi segala cahaya, dan menjadikan angin lebih susah di mengerti.
Aku masih satu musim lagi di kota sepi, hujan; mengeja butir-butirmu yang menuju ke entah.
Nanti, dikepulanganku; datangkan saja hujan badai yang melantakkan dahaga, melerai perseteruan musim-musim langit.
Biarkan badai menyeka airmata, yang lama sepi di punggung bumi. Biarkan senyum sekujur muka di lapang dada cinta mengada.
Untukmu hujan, datanglah seperti apa saja: mederas, merinai, merintik. Aku tak perduli, sebab kau penghapus sunyi di mata ini.
Lantas, gerangan apakah yang megirimkan rindumu sebegitu mederu kepada bumi, hujan?
Aku tak pernah tahu. Mungkin kau adalah tirai pelangi yang menutupi indah warnanya, sebagai cinta.
Namun, meski hujan di batas kuala
menajamkan kuku, aku memilih menari dalam bidukmu; sunyi tanpa tembang dan bunyi rapai.
Mengertilah hujan, mengerti angin. Mengertilah angin, mengerti hujan.
Entah gerangan apa yang mengirimkan rindu sebegitu menderu kepada bumi.
Itu mungkin airmata langit yang ingin menyentuh kekasihnya.
Untuk apa angin mencari ruang-ruang hampa, cahaya menerangi sunyi sepi.
Jika awanmu menutupi segala cahaya, dan menjadikan angin lebih susah di mengerti.
Aku masih satu musim lagi di kota sepi, hujan; mengeja butir-butirmu yang menuju ke entah.
Nanti, dikepulanganku; datangkan saja hujan badai yang melantakkan dahaga, melerai perseteruan musim-musim langit.
Biarkan badai menyeka airmata, yang lama sepi di punggung bumi. Biarkan senyum sekujur muka di lapang dada cinta mengada.
Untukmu hujan, datanglah seperti apa saja: mederas, merinai, merintik. Aku tak perduli, sebab kau penghapus sunyi di mata ini.
Lantas, gerangan apakah yang megirimkan rindumu sebegitu mederu kepada bumi, hujan?
Aku tak pernah tahu. Mungkin kau adalah tirai pelangi yang menutupi indah warnanya, sebagai cinta.
Namun, meski hujan di batas kuala
menajamkan kuku, aku memilih menari dalam bidukmu; sunyi tanpa tembang dan bunyi rapai.
Mengertilah hujan, mengerti angin. Mengertilah angin, mengerti hujan.
Entah gerangan apa yang mengirimkan rindu sebegitu menderu kepada bumi.
Itu mungkin airmata langit yang ingin menyentuh kekasihnya.
Puisi Karya @sugianto_iwan - http://bataslangit.tumblr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar