Bacalah dengan memasang simpul-simpul senyum terindah. Sebab puisi ini bukan lagi perihal luka, pun bukan mengenai genangan-genangan asin airmata yang mengendap dan lantas menjelma jadi huruf-huruf yang menunduk, meringkuk.
Untuk sebuah nama yang senantiasa tercatat dalam lembar-lembar doa. Kau tak akan sedikitpun dilekangkan deretan angka-angka banal pada kalender-kalender yang tergantung di dinding kamar. Karena ingatan adalah puisi yang tertulis abadi, di nadi-nadi sunyi.
Nir-waktu adalah sepenuhnya ingin, tentang sebuah pertemuan yang kerap kita rancang di putih awan gemawan angan, tak peduli engkau atau aku yang telah sampai lebih dulu pada batas nadir pengharapan.
Gamitlah, gamit erat segenap rindu yang kini meruah meriap di udara. Rindu yang dulu pernah terjaring kedalam metaforamu, yang tak sekalipun mampu kubunuh hingga masa membekukan semua airmata. Rindu yang menghangatkan mata, melumerkan tanya.
Ah Bunga, sudah beberapa jenak, masih juga tak nyenyak. Ataukah kenangan memang demikian? Selalu kumat dan sulit dilelapkan? Aku tak tahu, dan tak mau tahu. Yang kutahu aku rindu kau saat menuliskan puisi ini.
Langit begitu tampak sumringah kini, terbentang di langit kota. Dan beberapa senyummu kugantung di sana. Aku tak peduli, bila nanti senja datang sewarna kesumba atau ungu yang kemudian jadi kelabu.
Irisan pelangi akan selalu ada bukan? Setelah jemari hujan membelah langit menjadi dua bagian. Tetapi seperti yang kau tahu, Bunga, aku lelaki pembenci hujan.
Andai boleh memilih, aku ingin senja sewarna kesumba saja, biar senja ungu menjadi milikmu dan hujan menemanimu membaca puisi rindu.
Rindu yang menghangatkan mata, melumerkan tanya, membuat engkau dan aku selalu tampak ranggi di antara jeda tanda baca dalam puisi ini.
Untuk sebuah nama yang senantiasa tercatat dalam lembar-lembar doa. Kau tak akan sedikitpun dilekangkan deretan angka-angka banal pada kalender-kalender yang tergantung di dinding kamar. Karena ingatan adalah puisi yang tertulis abadi, di nadi-nadi sunyi.
Nir-waktu adalah sepenuhnya ingin, tentang sebuah pertemuan yang kerap kita rancang di putih awan gemawan angan, tak peduli engkau atau aku yang telah sampai lebih dulu pada batas nadir pengharapan.
Gamitlah, gamit erat segenap rindu yang kini meruah meriap di udara. Rindu yang dulu pernah terjaring kedalam metaforamu, yang tak sekalipun mampu kubunuh hingga masa membekukan semua airmata. Rindu yang menghangatkan mata, melumerkan tanya.
Ah Bunga, sudah beberapa jenak, masih juga tak nyenyak. Ataukah kenangan memang demikian? Selalu kumat dan sulit dilelapkan? Aku tak tahu, dan tak mau tahu. Yang kutahu aku rindu kau saat menuliskan puisi ini.
Langit begitu tampak sumringah kini, terbentang di langit kota. Dan beberapa senyummu kugantung di sana. Aku tak peduli, bila nanti senja datang sewarna kesumba atau ungu yang kemudian jadi kelabu.
Irisan pelangi akan selalu ada bukan? Setelah jemari hujan membelah langit menjadi dua bagian. Tetapi seperti yang kau tahu, Bunga, aku lelaki pembenci hujan.
Andai boleh memilih, aku ingin senja sewarna kesumba saja, biar senja ungu menjadi milikmu dan hujan menemanimu membaca puisi rindu.
Rindu yang menghangatkan mata, melumerkan tanya, membuat engkau dan aku selalu tampak ranggi di antara jeda tanda baca dalam puisi ini.
Puisi Karya @acturindra - http://senjasorepetang.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar