Seseorang itu perawan bersemu merah jambu di bawah payung pelangi, sesekali menatap langit membiarkan jarum keperakan menghunjam wajahnya:Pelupuknya menyimpan hujan. Bulu mata itu terus mengerjapkan sembab sebelum jatuh menanggalkan hilir kepedihan.
Entah apalagi yang telah dibisikkan angin yang menyentuhnya – tak sehangat nafas kekasih menghembus lembap pada kulitnya. Hari ini musim basah membawakan gerisik gelisah.
Larik luka langit menggelap, belum tiba malam.
Ada perih dalam kesepian. Dan bocah-bocah berselendang warna warni menari diatas luka malam, menjerat kerat-kerat cahaya.
Nyanyian bocah-bocah berlagu sumbang — lesap ditelan malam kebasahan.
Gerimis datang… gerimis datang… kanak-kanak kenang makin melonjak-lonjak tak mau pergi. Lekas lihatlah pada awan, seseorang akan mewarnai langit petang.
Itu hujan, derainya meratap – berderak-derak angin menghempas pada atap.
Dilipatnya kembali rindu, seseorang tak kan pernah mau menemuinya:Pelangi segera memucat, langit terlalu ungu, seseorang mewarnainya dengan satu warna – lebam dan muram; hatinya murung.
Apakah hujan segera reda, sedang langit pelupuknya terus sembabkan kesunyian menutup kertak-kertaknya.
Tetapi awan semakin retak, pun langit semakin nganga.
Andaikan segera reda, pasti para bocah kegirangan bersorak; bermain sepeda; lelarian di kecipak basah. Tengok saja langitmu.
Hujan pasti reda. Segeralah pilih warna-warni bagi cinta – bilakah ditemukan dan dibawa pulang.
Puisi Karya @_bianglala - http://palangiaksara.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar