Tampilkan postingan dengan label #PuisiHore3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #PuisiHore3. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 April 2014

Menanti Senyap

Nafasmu memburu turun dari langit Dan lalu kata-katamu yang penjelma dahaga Berubah menjadi api Menghanguskan udara yang kusesap Hitam – Pekat

Kau tak lagi bisa berontak Menyembur api pada waktu Sebab mereka adalah abadi Keheningan sebentar lagi menjemput Aku terisak Malam semakin hitam Angin kesedihan lantas pekat

Puisi karya @didochacha - http://mruhulessin.wordpress.com

Empat Elemen Kesedihan

Mula-mula aku membakar daun-daun yang jatuh di kepala, supaya ada satu cahaya tiba dari kobar paling ingatan. Kau, seseorang, yang pernah lupa karena ingkar janji atas api, yang meredam sendiri bara atas masa lalunya. Setiap ada percik selepas pantik, di kepalaku telah hangus anak-anak rambut.

Dan kau, bisa jadi asin air yang jatuh sebagai hujan, membasahi bukit pipiku setelah selesai pembakaran. Aku sedang mengambil caping, akan kupanen garam dari kumpulan airmataku sendiri; hujan di musim kesedihan yang telah kau ciptakan. Aku jadi petani sukses dari banjir kehilangan.

Kemudian aku akan memulangkan tubuhku yang dipendam garam ini kepada tanah. Kukembalikan seluruh kesedihanku kepada apa yang dahulu telah diambilkan untuk satu hidupku. Tanah atas nama rahim ibuku. Tidak da yang perlu menggali karena api dan hujan telah menggemburkannya.

Maka takkan kudapati udara. Takkan kumiliki lagi napas, dan sesak dadaku paripurna. Helaanmu akan mencatat semuanya dengan huruf-huruf yang telah diajari untuk kebal pada sakit hati. Sementara aku telah sembuh dan takkan lagi mencampuri paru-parumu dengan bau masa lalu.

~ teras atas, 20 april 2014

Puisi karya @dzdiazz - http://aksaralain.blogspot.com

Kepada Bara

Kepada bara Kurebahkan jiwa Di sepanjang rona pelangi beraroma jingga Sembari bersenandung hingga menggelora Hingga terlepas rupa-rupa, saujana

Kepada bara Kutitipkan samsara Biar habis terbakar sedih segala macamnya Mengabu, larung, menuju sedia kala

Kepada bara Kutautkan nestapa atas buncah rindu terlampau kentara Biar perlahan senyapnya Menghanguskan esa bejana, sukma

Kepada bara Kutuang sepercik airmata Ke dalam tungku-tungku penuh nyala Mengobar, membakar, selayak panas Candradimuka Maksudku, sederhana Biar letih hati tiada lagi mendera Biar seruang tumbuh, sekadar mengizinkan bernapas lega

Kupikir cuma kepada bara Kan kutuang samsara Biar habis terbakar sedih segala macamnya Mengabu, larung, menuju sedia kala

-kaki Merapi, 20 April 2014, jelang tengah malam-

Puisi karya @phijatuasri - http://lariksyair.blogdetik.com

Sebutir Biji

Aku sebutir biji yang tertanam dalam tanah yang hangat Bagai pelukan ibu yang terasa begitu erat

Air mengalir membasahi kulitku membuatku terbangun Dari rasa nyaman, hangat, dan nikmatnya pelukan

AAA….Aku ingin melihat matahari Sang Pembawa Kehidupan di Bumi Muncul ke permukaan dan merasakan nikmatnya udara menerpa diri

Tapi kini, semua tak bisa kurasakan lagi Karna tubuh ini tlah hangus terbakar api

Mengapa aku harus berakhir begini? Baru senang memulai hari, ku malah tak berbentuk lagi

Panas api dari tangan manusia Telah membuatku mati sia-sia

Baru sekejap kumulai hari Kini takkan pernah kurasakan lagi

Manusia tlah membakarku dengan api Padahal tak pernah sekalipun aku merasa iri

Kisahku sebutir biji yang harus mati Karna api oleh manusia-manusia yang keji

Yogyakarta, 20 April 2014

Puisi karya @MayHpt06 - http://mynameismaylia.wordpress.com

Inginku Menuntut Ilmu

Tanah tempat kakiku berpijak Dengan kedua kakiku terjejak Kuharap bertemu sesuatu nan bijak

Aku ingin bisa mengalir seperti air Yang selalu mengalir dari hulu ke hilir Tanpa sedikitpun ada rasa kikir

Namun kadang langkah kaki gontai Semilir angin, sejuknya udara menggodaku tuk santai Menikmati, mendengar deburan ombak di pantai nan damai

Tapi api masih ada dalam semangatku Kan kubawa selalu menemaniku menuntut ilmu Mengisi semua akal pikirku, hingga tiba waktu terakhirku

Itulah inginku dalam menuntut ilmu Membawa keempat elemen ke setiap relung jiwaku Dan kan kugenggam erat tanpa sedikitpun rasa ragu

Yogyakarta, 20 April 2014

Puisi Karya @MayHpt06 - http://mynameismaylia.wordpress.com

Kisah dari Langit

Kurasai dalam puisimu. Menjunjung langit. Kisah langit berbeban rindu-rindu para penyair. Mereka terlalu banyak menulis kisah-kisah jenuh. Hingga langit terasa berat seolah hendak jatuh.

Maka dijatuhkannya air. Merupa hujan. Tempias basah menyentuh kaca jendela seorang kenya. Dia menghembuskan nafas berkabut menyamarkan nama kekasihnya ditulis gelisah. Disampaikannya puisi cinta.

Maka dijatuhkannya api. Merupa kilat-kilat. Bukan amarah dewa Zeus. Sang kenya berbicara tentang cemburu. Pada bunga-bunga indah di taman lain yang disambangi oleh kekasih. Langit pun menjauh dari rengkuh puisi.

Maka dijatuhkannya udara. Menghidu. Merupa wangi-wangi kekal rindu. Maka dihirupnya pelan. Diembus tak cekat. Kekasih sudah di dekatnya.

Maka dijatuhkannya tanah. Merupa abu. Dibawa oleh kabar-kabar burung dari negeri selatan. Membisikkan kerisik di sela jemari kaki. Menjejakkan nama rupa-rupa ragu. Ditanamlah sudah segala puisi ketabahan.

Inilah kisah langit itu. Hilir dongeng-dongeng sekadar penyair. Tinggal pada tingkap. Berguru pada doa-doa. Mereka teramat tabah.

Puisi karya @_bianglala - http://pelangiaksara.wordpress.com

Sajak Cerita Cinta

Pada tanah yang basah Tak sengaja kutarikan rindu bersama tetes hujan Tersebab sebuah rasa yang tak tersampaikan Tentang kamu, membayang di celah ingatan

Pada rindu yang desah Tanyaku enggan terjawab perjalanan waktu Tak apa, barangkali rel ketakmungkinan memang baku Tepiskan mimpi, membuih di udara nun jauh

Pada hati yang resah Tabah rasa mungkin pernah menyusut seketika Tak ubahnya ego tersulut api amarah Tebal, diam-diam enggan percaya cerita cinta

Puisi karya @Susi_SmileKitty - http://luphly-shie.blogspot.com

Aku adalah Udara Tanpa Arah

Kemana udara-udara yang bernapaskan rindu itu akan berlabuh?

Masihkah ia tanpa arah?

Dan kamu tetap terdiam di titik gelapmu.

Di atas tanah yang mengunci langkahmu.

Dengan rantai-rantai kuat yang menancap di tanah gersang itu, seperti hatimu.

Mata air yang pernah jadi tempatmu menangis,

Kini kering kerontang.

Tak ada lagi yang ingin bermuara di ujungnya.

Tak ada lagi yang ingin menitipkan rasa pada daun yang jatuh di atasnya.

Yang ada hanya debu dari abu sepimu,

Terbakar lewat api sisa-sisa amarahmu.

Merah menyala, menghapus biru dari bola matamu.

dan benci membawanya pergi.

Memang tak ada lagi rindu di duniamu.

Dan aku adalah udara yang tanpa arah.

Puisi karya @dyazafryan -http://dyazafryan.wordpress.com

Cinta Sekekal Api

Aku lupa berpijak pada bumi

Saat kau tiupkan udara

Pada cinta yang kubiarkan beterbangan

Aku menari disana

Dengan sayap terindah

Yang kau rajut dengan sebuah kepercayaan

Menangkap butiran-butiran air embun

Yang berjatuhan menyambut pagi

Saat mentari mulai menyala

Aku akan membuatmu percaya

Pada cinta yang sekekal api

Puisi karya @GistiiRa - http:// gradistie.wordpress.com

Selasa, 22 April 2014

Berkali-kali

Siapa yang membawa mata ke tubuh berjauh-jauh. Ada dua atau lebih wajah berlapis pandang kesedihan. Kau tahu akupun tak tahu. Kesedihan itu turut ke mataku dan oleh sebabnya satu demi satu ada yang tiba-tiba saja berjatuhan seperti serpih kayu. Pedih.

Dan garis-garis yang tembus di permukaan merayu sepi untuk tegas seperti garis wajahmu.

Siapa yang menyaji gambar bila kesedihan-kesedihan itu tak berkesudahan. Wajahmu sekali lagi menipu dan kehilangan sudah memburu.

Sekali lagi.

Aku mengharapkanmu tak hanya mata yang memandang berkali-kali, atau kesedihan itu takkan berhenti sama sekali.

Puisi karya @dzdiazz - http://aksaralain.blogspot.com

Matra

Dua wajah terbaca dalam segores karya Ini cuma tentang bingkai dua matra yang kadang memicu perdebatan kita Seperti juga terjadi sesiangan tadi Kala kita berkeliaran di dunia maya, menjajaki galeri

Satu bingkai karya dua matra Sekejap menghentikan jemari berpesta STOP! Selancar dunia maya pun mandheg seketika

“Hebatnya Francis Picabia …. Seorang pria, separuh rupa Tirus wajah seperti menahan kelu tubuhnya, mungkin juga pedih yang bersandar, putus asa”

Lugas kalimatmu berjejalan menyesaki udara ruang on line pameran Seolah menimpali kerumunan tanya sarat memenuhi otakku di tiap lipatannya Sayang, tak cukup waktu bibir bersuara

“Satu lagi, menurut pandanganku adalah seraut wajah seorang nona Bibir dan pendar matanya memesona Ya, mata lelakiku mudah mengenalinya”

Kedua bola mataku membalas, mengejap beberapa jeda mengerling penuh tanya,

“Kau sedang membaca pikiran mereka?”

Tanpa sadar mulutku bicara

Aku hanya heran, tiap kali berurusan dengan dua matra Bagaimana bisa kau selalu punya cara menebak apa isi pikiran, meski cuma gambar karya Membikinku hendak mendebat dan bicara sekadar menumbangkan pendapat

Sayangnya, lagi-lagi ku tak mampu Bingkai karya dua matra, dua wajah itu seolah terlalu lekat membiusmu

“Sorot mata si perempuan …. Menyimpan harap terlampau besar Mungkin karena ia cukup yakin bakal jadi istri terakhir”

Lagi, kedua mataku membelalak seketika

“Istri? Siapa?”

“Dia!”

Telunjukmu menekan monitor begitu kuatnya Tampak wajah si lelaki, berbayang jejak sidik jari Ah, kau ini! Sudah macam detektif ahli Atau mungkin kau memang Sherlock Holmes wanna be

Entahlah Bingkai dua matra selalu seru jadi tema Berdebat kita, hari ini atau seterusnya Tentang dua wajah mereka Tentang surrealis, abstrak, atau apa saja

Entahlah Mungkin ini tak cuma soal matra Ini juga tentang jiwa, tentang bagaimana cara kita memandang ke arah mana seharusnya tentang bagaimana mengindera segala rupa objek dua matra lalu berpendirian, berdebat menurut logika

-kaki Merapi, 17 April 2014, jelang malam

Puisi karya @phijatuasri - http:lariksyair.blogdetik.com

Dalam Mata

1/Katamu, dalam mataku Kau temukan tempat berlabuh segala ragu Supaya genaplah rapal-rapal doa yang kau senandungkan tiap malam

2/Semenjak kutinggalkan kau di pelabuhan itu Telah kulukis dirimu : luka dan senyummu seutuhnya Lalu kutanam di dalam mataku segera

3/Memandang laut adalah ziarah panjang bagi kita Disana mata kita saling bertemu Mencipta pijar pada sajak yang kau sebut penebus dahaga

4/Jarak membuat kita sesekali berbincang tentang kerinduan yang goyah Lalu ingatan yang perlahan-lahan mulai terhapus Namun gerimis selalu saja turun dipelupuk mata kita pada akhir percakapan Memintal kembali resah jadi percaya bulat penuh Selalu

-17 April 2014-

Puisi karya @didochacha - http//mruhulessin.wordpress.com

Gadis Manisku

Kau, gadis manisku bermata sayu Yang selalu muncul dalam setiap mimpiku Dan kan selalu jadi impian termanisku Oh…gadis manisku bermata sayu

Tak kau rasakankah tatapku tajam Tatapan lurus yang kutujukan hanya padamu Jangan kau kira aku berlaku kejam Hanya pikirku penuh oleh dirimu

Tak pernahkah kau terpikir Apa yang kurasakan padamu Kau datang menengok sekadar mampir Tanpa pernah kau mau mencari tahu

Kau gadis manisku bermata sayu Selalu menjadi impian termanisku Datang, mendekatlah dalam pelukku Oh, gadis manisku bermata sayu

Pikirku selalu, kita berdua kan menyatu Dalam ikatan nan syahdu Hubungan berasa semanis madu Meski kadang ada rasa mengharu biru

Kau gadis manisku bermata sayu Lemah gemulai indah perangaimu Inginku jadikan kau utuh milikku Oh….gadis manisku bermata sayu

Yogyakarta, 17 April 2014

Puisi karya @MayHpt06 - http://mynameismaylia.wordpress.com

Mata

barangkali nanti engkau–adam–yang kulihat

pertama hari dimulai terhitung pagi

barangkali nanti aku–hawa– yang kaupandang

pertama melek dari ranjang-ranjang mimpi terhitung malam

Maka marilah kita saling lekat

mendenguskan nafas-nafas cekat

aku dan kamu membuang mata

melumat tubuh dari tinggal di ingatan.

“Tunggu!” pada kata-kata serempak, sebelum usai birahi.

“ada mata tuhanmu di kepalamu. Diam dan membatu.”

Satu tingal itu menetap, menatap tajam.

Dia memulai membacai batu, seperti mengucap tulah.

mengumbar cemar. menangkap gelisah.

mengurung dosa. lalu menutup vonis tanpa ampun.

dan mereka telanjang pendosa yang terkutuk.

Dia mata ketiga — yang tak terlihat untuk melihat yang tak terlihat.

Puisi karya @_bianglala - http://pelangiaksara.wordpress.com

Akulah Sang Mata

Akulah sang mata Menjaga tiap-tiap rahasia Entah satu, dua, insan manusia Baik tentang Adam maupun Hawa

Akulah sang mata Menatap tajam pada dunia Baik buruknya, ada tidaknya Sebab segala yang ada, terasa fana

Akulah sang mata Terlahir dengan dua jiwa Sekali waktu, enggan berkaca Seolah rasa meneriaki seribu logika

Akulah sang mata Terpenjara dalam lukisan tua Sedang di kepala, ingatan meraja Berontak dalam gejolak yang tak nyata

Duhai Adam dan Hawa Jangan tatap aku dengan sepasang mata Sebab aku telah menatapmu begitu lama Sebab akulah sang mata, terjebak satu cerita

Puisi karya @Susi_SmileKitty - http://luphly-shie.blogspot.com

Mata-mata

Mata-mata menyorot tajam,

seperti tak asing, menatap lekat tak berpaling.

Bibir itu berisi pisau tajam.

Meski terlihat sangat muram, ia mampu membuatmu terhujam.

Siapa yang menciptanya?

Goresan kasar, lekuk-lekuk garis hitam.

Ada makna, ada cerita.

Wajah yang menyimpan luka,

dendam,

dan kesendirian.

Ia ingin hidup sebagai pengingat,

namun yang terjadi ia hanya akan jadi wanita dibalik kanvas yang hangat.

Tak ada airmata,

tak ada banyak bahagia.

Ia akan tetap hidup bersama goresan tangan yang lainnya.

Puisi karya @dyazafryan - http://dyazafryan.wordpress.com

Seperti yang Kita Pinta

Seperti senja yang menebar harumnya waktu Seperti bias-bias dari deburan ombak yang menerjang Maka seperti ini rasa dibalik rasa yang dipersatukan Tuhan.

Aku selalu bimbang, Saat kata terhenti dan waktu tetap memutarkan rodanya Saat harap menghentikanku diujung pantai ini.

Pelukan rinduku belum terbalas olehmu, senja. Dia masih tergantung, melayangkan hati seperti benda mati. Sedangkan rasaku masih di sini mengharap sebuah kecemasan.

Lihat aku, Di bibir pantai, aku selalu mengadu rasaku.

Medan, 17 April 2014

Puisi karya @WE_Dewie - http://wedewie.blogspot.com

Rabu, 16 April 2014

Larut Bersama Tanya

Aku selalu suka, ketika kita berempat : kau, aku dan sepasang cangkir kopi di meja itu —saling bertukar tanya.

Aku iri pada serbuk kopi — ujarmu mengawali.

Ia ikhlas dilebur panas yang menjadikannya pekat sempurna bila kita adalah serbuk kopi pun ujian serupa air mendidih apa kelak kita setabah mereka?

Sepasang cangkir kopi di meja itu, menjawab lewat hening.

Aku mulai mengkaji doa-doaku — lanjutmu lagi.

aku egois, hanya meminta bahagia sementara sabar seperti vitamin tak dihasilkan tubuh barangkali jalan yang kita pikir tak berujung adalah cintaNya, tuk memenuhi pundi-pundi tabah agar kita tak kehabisan bekal.

Mungkin pula seperti kopi di cangkir ini — jawabku.

Ketika manisnya kita kurangi bukan perihal sakit gula yang menakuti melainkan, kita ingin mengecap makna dari murninya sebuah pahit.

Lalu, kau menuang minumanmu ke tatakan kopi, separuhnya sementara aku memilih meniup permukaan air minumanku, menunggu sampai hangat-hangat kuku.

Lihatlah, cara kita menyesap kopi, bagimu, caramu bagiku, caraku lantas mengapa kita saling menjatuhkan hanya sebab seseorang memilih jalan lebih panjang?

Sepasang cangkir kopi berdenting, berebut ingin menjawab namun, kita terlalu larut — dalam pertanyaan.

Palembang, 13 April 2014. 22:36.

Puisi karya @madeehana - http://pasiringatan.wordpress.com

Tercatat Malam Ini

dalam lampu yang telah kupadamkan, tanpa kantuk menyetubuhi malam, maka tak ada lagi kolam selain diriku sendiri yang bisa kurenangi. tak ada lain, selain bertekur menghadap langit yang langit-langit; semuanya diam, kecuali kepalaku dan beberapa penyesalan.

mengapa melulu gelap benar-benar kehilangan ucap? saat lampu suar yang tak membacakan apa-apa menampar pipiku lebih dulu daripada langkah yang jauh akan sudah. aku sampai di sini, adakah yang memiliki arti?

tapi kelahiran telah tercatat, sebagaimana akhirnya aku ada.

dari mata yang tak mampu menangkap apa-apa selain gelap di kamar ini, seribu lebih makna coba kupanen. tuhan yang maha, bagi-mu aku ada. maka pada malam ini dosa-dosa yang menjelma ular telah kumakamkan.

Puisi karya @dzdiazz - http://aksaralain.blogspot.com

Sabda Abadi

Dia menginginkan Dia bersabda

Maka Dia menunggang keledai Daun-daun diangkat semarak. Putri Sion bersorak Lantang dinyanyikan segala puji

Yerusalem, lihatlah Rajamu.

Hari ini seperti pernah dinubuat Langit hingga bumi lebih tahu kabar duka Menyimpan lumat

Bumi Golgota menjadi altar tertinggi Menantang langit.

Dia yang tergantung Adalah sabda abadi

Puisi karya @_bianglala - http://pelangiaksara.wordpress.com