Malam meregang rindu yang jalang,
Ada hangat di sudut bibir dalam senyum hilang,
Ini bukan garam, Sayang,
Hanya airmata yang sesaat datang.
Lalu, perlahan jatuh di atas piring nasi,
Kosong, masih tanpa isi,
Selalu seperti itu tetap dalam posisi,
Sejak kau tak lagi di sisi.
Kini, tatapanku berpindah pada sayur bening,
Terdiam dalam cawan yang hening,
Kuaduk sedikit tuk temukan ingatan tentangmu,
Namun, daun bayam tak menjelaskan apa-apa padaku.
Kau menghilang begitu saja, tiba-tiba,
Meninggalkan rinduku hingga berjelaga,
Meskipun kutahu merindukanmu mereguk tuba,
Bagiku rasaku tetaplah setenang telaga.
Aku masih membisu memainkan sendok dan garpu,
Membiarkan keduanya saling beradu,
Entah siapa yang akan menyuapiku lebih dulu,
Yang jelas bukan kamu.
Keduanya berdiskusi dalam denting keraguan,
Menunggu sesendok nasi untuk kauhidangkan,
Meskipun hanya kesia-siaan,
Bagiku tetaplah bukan penyiksaan.
Kemarilah, Kekasih!
Jangan biarkan piring nasiku kosong hingga perutku perih,
Sebab merindukanmu jauh lebih sedih,
Namun kutahu, menunggumu tak mengenal kata letih.
Aku beranjak dari kursi kayu,
Mengemasi rindu yang perlahan mulai layu,
Membiarkan lambung mendendangkan lagu,
Sampai pilu menggadaikan nyawa hingga tak laku.
Terluka tak membuatku serta merta menyerah,
Kuambil sebuah apel merah,
Kugigit hingga bibirku berdarah,
Begitu caraku mengingat ciumanmu yang tak kenal kata sudah.
Mataram, 17 April 2013 (09:54 Wita)
Puisi Karya @momo_DM ~ http://bianglalakata.wordpress.com
Ada hangat di sudut bibir dalam senyum hilang,
Ini bukan garam, Sayang,
Hanya airmata yang sesaat datang.
Lalu, perlahan jatuh di atas piring nasi,
Kosong, masih tanpa isi,
Selalu seperti itu tetap dalam posisi,
Sejak kau tak lagi di sisi.
Kini, tatapanku berpindah pada sayur bening,
Terdiam dalam cawan yang hening,
Kuaduk sedikit tuk temukan ingatan tentangmu,
Namun, daun bayam tak menjelaskan apa-apa padaku.
Kau menghilang begitu saja, tiba-tiba,
Meninggalkan rinduku hingga berjelaga,
Meskipun kutahu merindukanmu mereguk tuba,
Bagiku rasaku tetaplah setenang telaga.
Aku masih membisu memainkan sendok dan garpu,
Membiarkan keduanya saling beradu,
Entah siapa yang akan menyuapiku lebih dulu,
Yang jelas bukan kamu.
Keduanya berdiskusi dalam denting keraguan,
Menunggu sesendok nasi untuk kauhidangkan,
Meskipun hanya kesia-siaan,
Bagiku tetaplah bukan penyiksaan.
Kemarilah, Kekasih!
Jangan biarkan piring nasiku kosong hingga perutku perih,
Sebab merindukanmu jauh lebih sedih,
Namun kutahu, menunggumu tak mengenal kata letih.
Aku beranjak dari kursi kayu,
Mengemasi rindu yang perlahan mulai layu,
Membiarkan lambung mendendangkan lagu,
Sampai pilu menggadaikan nyawa hingga tak laku.
Terluka tak membuatku serta merta menyerah,
Kuambil sebuah apel merah,
Kugigit hingga bibirku berdarah,
Begitu caraku mengingat ciumanmu yang tak kenal kata sudah.
Mataram, 17 April 2013 (09:54 Wita)
Puisi Karya @momo_DM ~ http://bianglalakata.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar