Mer, tak tampak jelas isyarat apa yang tengah kau bangun dan kau gurat di antara kelok-kelok tirus pipimu. Kini wajah-wajah itu tak lagi mampu kuingat — hanya serupa tanda tanya yang tak pernah ingin kukenang dan kuakhiri dengan sebuah jawabanmu.
Kesedihan-kesedihanmu yang urung kuartikan duka, juga bahagia-bahagia terbaca sebagai duka. Ah, Mer… Terlampau banyak tungku kata di wajahmu harus kupadamkan dengan metafora-metafora. Luka begitu mencintai segala dukaku, juga dustamu.
Seribu wajah dalam satu wadah, cukupkah waktu yang fana memberimu ruang untuk kembali bersandiwara? Drama-drama air mata tak lain hanya perihal kamuflase pengkhianatan belaka. Kita telah sampai pada epilog, Mer. Tak ada waktu untuk isyarat-isyarat purba yang kini tak lebih dari sekadar badut-badut yang terus menertawai dirinya sendiri.
Mer, aku tak lagi mampu mengingat. Seribu wajahmu hanya berselubung kabut muslihat
Kesedihan-kesedihanmu yang urung kuartikan duka, juga bahagia-bahagia terbaca sebagai duka. Ah, Mer… Terlampau banyak tungku kata di wajahmu harus kupadamkan dengan metafora-metafora. Luka begitu mencintai segala dukaku, juga dustamu.
Seribu wajah dalam satu wadah, cukupkah waktu yang fana memberimu ruang untuk kembali bersandiwara? Drama-drama air mata tak lain hanya perihal kamuflase pengkhianatan belaka. Kita telah sampai pada epilog, Mer. Tak ada waktu untuk isyarat-isyarat purba yang kini tak lebih dari sekadar badut-badut yang terus menertawai dirinya sendiri.
Mer, aku tak lagi mampu mengingat. Seribu wajahmu hanya berselubung kabut muslihat
Puisi Karya @acturindra - http://senjasorepetang.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar